Senin, 05 Oktober 2015

Isak Tertahan Dari Pegagan

    Sumbul- Dairi Pers : Gemerlap peringatan Hari Ulang Tahun Dairi ke 68 di Stadion Sidikalang. Beranekanya luah (oleh-oleh) para kontingen  mulai dari masakan gurih pelleng hingga buah-buahan segar. Rancaknya musik marching band bukanlah milik keluarga Lambok Malau yang tinggal di Dusun Juma Bosi, Pegagan Julu II Sumbul. Lambok hanya salah satu dari ribuan potret keluarga miskin di Dairi yang hingga kini tidak mengerti arti kemerdekaan hidup. Dia tidak pernah tahu bagiamana Dairi dan kapan ultah Dairi. Baginya bekerja maka makan. Sedikit saja malas maka siap-siap untuk kelaparan.


     Poltak Silalahi wartawan Dairi Pers Sumbul yang menjumpai keluarga ini di desa Juma Bosi menyaksikan langsung sesungguhnya potret kehidupan rakyat Dairi yang tinggal di rumah-rumah  tidak layak huni. Gemerlapnya langit Sidikalang dari mercon perayaan HUT Dairi ke 68 tidak pernah terbayangkannya. Puluhan tahun menghuni rumah tidak layak itu keluarga yang tidak pernah mendapat perhatian, ini juga tidak mengenal listrik.
    Lambok Malau (40) mempunyai 7 orang anak dari pernikahannya dengan Br. Tumorang. Dirumah berukuran 3 X 4 meter itu mereka menahan tangis dan isak kecewa karena tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Rumah sangat tidak layak huni berdindingkan tepas, atap dari rumbia dan susunan lalang. Sedang lantai rumah beralasnkan tanah. Jika malam menjelang hanya satu alat penerang yakni lampu teplok yang berbahan bakar minyak solar.
    Kepada Dairi Pers Lambok bercerita kalau dirinya sudah 7 tahun bermukim dirumah tersebut. Untuk menyambung hidup keluarga bertani kopi dan sayuran. Untuk memasarkan hasil panen juga harus menempuh jarak  sekitar 3 km berjalan kaki untuk sampai di jalan beraspal. Menggunakan pundak dan kepala mengangkut hasil panen sudah 7 tahun dilakukan. Untuk sampai di Sumbul mereka harus menempuh 10 km.
    Namanya petani tradisional hasil panen cukup untuk membeli ikan asin, gula, garam dan kopi. Itu juga kalau harga panen naik jika anjlok paling mampunya membeli ikan asin. Kalau untuk makanan banyak ragam bisa ubi, keladi, dan beras. Yang penting ada ikan asin, sebutnya bersahaja.
    Didusun tersebut Lambok bertetangga dengan satu keluarga Marihot Banjar nahor (42) yang nasibnya juga tidak beda. Dengan ukuran,  model dan nasib yang sama dua keluarga ini sesungguhnya tidak merasakan arti kemajuan. Menurut mereka orang lain baru datang ke dusun mereka jika ada Pilkada atau pilcaleg. Selebihnya mereka tidak diperhatikan bahkan serasa  dianggap tidak ada.
    Saat Dairi Pers mempertanyakan apa saja bantuan yang diterima mereka justru terkejut dengan istilah bantuan. Lambok dan Marihot tidak mengetahui apa itu Raskin, Bantuan langsung Tunai, Bedah rumah hingga fasilitas lain bantuan pemerintah. Dikatakan kalau me-reka hidup bagai tanpa Negara. Perjalanan kehidupan dilalui hanya bersumber dari pertanian tradi-sional dan kekuatan otot mengolah tanah. Hidup tidak lebih sekedar menjalani saja menunggu ajal menjemput.
    Lambok Malau saat ditanyakan Dairi pers akan cita-citanya bahkan tersenyum. “ Saya tidak mengerti cita-cita. Bagaimana mau bercita-cita jika kehidupan begini. Jalani saja dekatkan diri sama Tuhan, semoga anak-anak sehat itu saja” sebutnya penuh apatis.
    Hal senada juga diakui Marihot Banjar Nahor. Ayah tiga anak yang mem-persunting boru Sinaga ini bahkan menyebut sekedar menjalani hidup. Untuk sebuah perubahan hidup sudah tidak mungkin. Ke-luarga Marihot juga menem-pati rumah seluas 3 X 4 Meter yang berdindingkan tepas. Untuk menghalau sedikit udara malam memasang plastik tenda biru. Namun jika hujan berlangsung malam hari merupakan malam yang menderita karena atap rumah yang terbuat dari rumbia itu telah bocor. Tidak jarang mereka tidur dengan posisi duduk menghindari titisan air hujan dari atap lalang yang bocor.
    Saat Dairi Pers mempertanyakan siapa nama presiden RI sekarang sama sekali tidak mengetahui. Demikian juga saat dipertanyakan siapa nama Bupati Dairi malah berbalik bertanya “Marga Sitohang do tahe?”  Sebutnya sambil mengeryitkan dahi. Namun paling menderita anak-anak dari dua keluarga ini yang harusnya bersekolah harus merasakan jarak yang tidak pendek.
    Anak keluarga ini yang telah duduk dibangku SD harus menempuh puluhan kilometer sehari untuk sampai disekolah. Tampilan anak dua keluarga terabaikan ini jauh dari tampailan anak-anak SD di kota. Kaos kaki juga paling diganti sekali setahun. Mereka tidak mengerti artinya jajan. Yang dilakoni setiap hari makan pagi dan pulang sekolah harus secepatnya tiba dirumah untuk bisa makan.
    Menurut dua keluarga ini ubi menjadi menu yang tidak lepas setiap harinya.  Bisa makan dengan puas ketika panen perdana dari padi sawahnya yang tidak seberapa luas. Inilah potret Dairi dibalik gemerlap dan keriangan peringatan Hari Ulang tahunnya masih banyak keluarga miskin di dusun dan desa menahan isak tangis akibat beratnya beban hidup. (P. Silalahi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar