Senin, 24 Agustus 2015

Arti Kemerdekaan Bagi Penguasa

Oleh : Hendrik Situmeang ( Pemred Dairi Pers )


    Hasil survey Sejak reformasi kepala daerah yang memenangkan pilkada langsung hampir dipastikan  duduk kembali periode kedua.  Sejarah hanya mencatat dari 577 kepala daerah paling jokowi yang sanggup “ menghabisi” incumbent di DKI. Mengapa incumbent selalu memenangkan pilkada berikutnya? Sungguh tak selamanya  karena program incumbent berhasil atau capaian luar biasa . Namun ada faktor  lain Negara memberikan kesempatan untuk  tidak adil dalam persaingan. Arti kemerdekaan bagi penguasa adalah ketika bertindak sesuka hati  dan tidak ada pihak yang mau perduli lagi.
    Jika saja undang undang tidak membatasi periode seorang kepala daerah maka dipastikan semua daerah di indonesia menjadi kerajaan. Akan tercipta kepala daerah -kepala daerah seumur hidup.  Kemerdekaan kekuasan administrasi,  kemerdekaan kekuasaan keuangan, kemerdekaan kekuasan kewenangan yang dimiliki kepala daerah menjadi “rudal” menghabisi  pesaingnya dalam pilkada. Maka bukan hal luar biasa seorang incumbent memenangkan pilkada kembali.
    Ruang adminitrasi dan kewenangan yang begitu luas didaerah yakni “utak atik” PNS menjadi senjata membungkam  PNS dan keluarga PNS yang dianggap tidak sejalan dengan kepala daerah . Maka sering terdengar “pembuangan”  PNS ke pelosok. Ini gaya premanisme yang sebenarnya dilegitimasi oleh kemerdekaan kewenangan. Praktek ini menjadi tindakan favorit kepala daerah ketika baru dilantik. “ show of power” ini menjadi soft terapi psykologis  bagi PNS lain untuk tidak melawannya. Selanjutnya kabinet disusun yang se ide. Perlahan kabinet yang se ide di hapus dan digantikan dengan kabinet famili. Penggunaan kerabat dan famili menjadi pilihan terbaik bagi kepala daerah karena disamping aman. Secara psikologis di clan marga dan kerabat  seorang kepala daerah menjadi pahlawan. Jadi mirip dengan kerajaan juga.
    Kekuasan berlebihan yang dimiliki seorang kepala daerah juga dari faktor kekuasan pengaturan keuangan. Penulis yakin bukan hanya mantan Gubsu Gatot Pujo yang memanfaatkan kemerdekaan dana bansos dan hibah menjadi senjata untuk memenangkan kembali periode keduanya. Bukan hanya gubernur namun  oknum oknum bupati dan walikota juga mempraktekkan hal itu .  Bansos telah dijadikan sebagai modal kampanye gratis incumbent. Bansos dan hibah juga digunakan untuk memperkuat kroni dan mengamankan kelompok masyarakat . Mencokoki semua stake holder untuk mendukung incumbent . faktanya hampir semua  tidak tahan akan godaan uang termasuk mereka yang mengaku kaum religius .
    Meski undang undang, peraturan memuat jelas aturan penerima bansos. Namun karena lemahnya pengawasan dan tidak tegasnya hukuman bansos telah menjelma bak  “bantuan politik” negara bagi incumbent. Maka biasa terlihat pengurus rumah ibadah menerima bansos. Ada juga yang gunakan bansos dan hibah untuk plisiran ke luar negeri. Hanya diperhalus dengan istilah kunjungan rohani ke negara negara yang menurut kitab suci menjadi sejarah keagamaan.
    Kemerdekaan yang luas mengatur program daerah membuat hampir seluruhnya APBD diplot untuk mempertahankan kekuasan dua periode. Maka hal biasa melihat program studi banding kepala desa, camat, kelompok tani dan organisasi lainnya ke luar kabupaten. Mereka yang mendapatkan pengamalaman baru yang mengasyikankan dari program plisiran mempertopengkan  studi banding tersebut kelak menjadi agen agen timsukses di unit masing masing untuk kenbali memenangkankan incumbent. Hal itu terjadi karena memang SDM dan pemahaman demokrasi rakyat yang minim . Mereka beranggapan cost  plisiran  mereka adalah uang kepala daerah sehingga merasa harus melakukan balas jasa dengan menjadi tim sukses kepala daerah.
    Jika negera mengamanatkan APBD untuk kesejahteraan rakyat namun sungguh telah berubah menjadi arena memerdekakan kekuasaan. Setali tiga uang pejabat setingkat bupati/walikota meniru pola pimpinan diatasnya setingkat gubernur. Sebanyak 14 gubernur telah dihukum kerena korupsi APBD.  Modus yang dilakukan bansos dan hibah  ke daerah daerah untuk mendongkrak suara. Anggaran dibesarkan. Bupati walikota juga terinspirasi metode itu sehingga jelang pilkada anggaran di kecamatan dinaikkan luar biasa. Tujuannya agar camat mempunyai dana menggalang mempertahankan incumbent dua periode.
    Apa yang terjadi bagi Gatot sekarang sebenarnya bukan hal luar biasa. Banyak kepala daerah mempraktekkannya namun Gatot sudah terlanjur sebagai barang contoh. Kemerdekaan kepala daerah dalam mengatur keuangan membuat visi untuk kesejahteraan rakyat hanya kamuflase . Anggaran diplot “berkompaskan” politik dan visi bagiamana memangkan dua periode.
    Meluluskan kemerdekaan kepala daerah justru sangat mudah.  Rancangan anggaran yang disampaikan ke Dewan hanya tinggal menunggu ketuk palu saja. Hanya agar terlihat seakan akan ada proses maka diatur jadwal dan rapat rapat . Fakta yang terjadi kerap koreksi yang dilakukan dewan di rapat badan anggaran saat diusulkan ke gubernur  malah tidak kelihatan. Ketika gubernurnya juga punya “akal akalan” yang sama maka RAPBD daerah yang diusulkan kabupaten maupun walikota langsung diterima gubernur tanpa banyak pemeriksaan. 
    Kemerdekaan kekuasanan yang dimiliki penguasa juga hingga bisa mengintervensi siapa yang menjadi komisioner KPU/ Panwas  di daerah. Meski disebut dalam tiori KPU Daerah independen namun dalam faktanya sulit diamini. Aroma campur tangan penguasa sangat jelas meski sulit dibuktikan secara hukum.  Ketika wasit pertarungan juga orangnya penguasa, bagaimana mungkin dapat tercipta persaingan jurdil?
    Penulis melihat ketika kemerdekaan kekuasaan sudah tidak terbendung sebaiknya pilkada dilakukan sekali dalam 10 tahun saja. Itu lebih ekonomis karena menghemat anggaran  . Disamping itu  lebih menjaga kekondusipan warga. Karena meski dilakukan pilkada  maka 99,9 persen incumbent sudah menang. Semua item untuk pertarungan pilkada telah dimiliki incumbent. Inilah arti kemerdekaan sesungghuhnya bagi penguasa. Semua hal sepertinya sudah menyebelah kepada incumbent. Jadi hanya mereka mereka yang istimewa bisa melawan incumbent.
    Institusi pengawasan  yang ada bak “mandul” dalam menjaga aturan. Bahkan lebih parah juga hanya boneka yang dipersiapkan agar proses pembodohan langgeng. Maka penulis melihat sebenarnya aturan berdemokrasi sudah sangat baik. Hanya saja mentalitas pengawasan dan kemandirian penyelenggara yang pantas “dipermak “ lagi.  Dan itu tidak mudah. Kemerdekaan yang dimiliki penguasa begitu luas hingga sebenarnya demokrasi yang kita bangun hanya indah ditelinga saja. (Penulis adalah Pemred Dairi Pers)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar