Jakarta
–Dairi Pers : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kebanjiran pengaduan
dari berbagai pihak terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dari seluruh Indonesia. Pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu yang paling banyak diadukan terkait dugaan praktik
penyuapan.
Anggota
DKPP Nur Hidayat Sardini mengatakan, masyarakat juga banyak mengadukan dugaan
penyalahgunaan jabatan penyelenggara pemilu, memanipulasi dokumen, pelanggaran
dalam penetapan hasil pemilu, dan persyaratan dukungan. Dilihat dari
kuantitasnya, kata Nur, ada tren pengaduan cenderung meningkat. “Banyaknya
sidang tidak akan memengaruhi objektivitas dari perkara yang disidangkan,’’
kata Nur, . DKPP menerima sebanyak 27 pengadungan. Sebulan kemudian bertambah
sebanyak 21 pengaduan.
Nur
mengatakan, dalam sehari, DKPP bisa menyidangkan lima perkara. Dia
merinci, agenda sidang DKPP pada Jumat (6/9) ini saja sudah dimulai sejak
pukul 09.00 WIB, yakni sidang pengaduan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Murung Raya terkait dukungan ganda partai Pemuda Indonesia yang
dilakukan di luar jadwal verifikasi.
Lalu,
sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh KPU Kabupaten
Kayong Utara, Seram Bagian Barat, Lampung Utara, dan Kabupaten Baru serta
sidang pengaduan untuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Palembang.
Sidang terakhir diperkirakan akan berakhir pada pukul 19.00 WIB. ‘’DKPP memang
mengawasi KPU, Bawaslu, dan aparat penyelenggara pemilu yang berada di
bawahnya. Yang paling banyak diadukan adalah KPU,’’ ujarnya.
Ketua
DKPP Jimly Asshiddiqie mengatakan, sebagian besar masalah yang menjerat
penyelenggara pemilu, terutama KPU dan panwaslu di daerah, karena adanya
keberpihakan atau sikap tidak netral. ‘’Ada dua sanksi yang diberikan DKPP,
yakni sanksi peringatan lalu dibina dan sanksi pemecatan,’’ kata Jimly.
Mantan
ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, DKPP telah menjatuhkan sanksi
pemecatan terhadap 95 orang anggota KPU dan panitia pengawas pemilu (panwaslu)
sejak DKPP dibentuk pada Juni 2012 lalu. Menurutnya, sanksi pemecatan memang
terpaksa dilakukan apabila ada dugaan pelanggaran kode etik berat yang
dilakukan penyelenggara pemilu.
Selain
karena pelanggaran kode etik berat, menurut Jimly, DKPP memberikan sanksi
pemecatan karena beberapa kasus memiliki indikasi pidana. “Sanksi ini hendaknya
bisa memberikan efek jera,’’ katanya.
Koordinator
Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afiffudin
menyarankan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk segera membenahi
kualitas sumber daya manusia di seluruh tingkatan. Lantaran banyaknya
komisioner KPU dan Bawaslu yang dikenai sanksi pemecatan oleh Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kualitas
SDM, menurut Afif, tidak bisa dimungkiri menjadi penghambat dalam
penyelenggaraan pemilu. Terutama, bagi penyelenggara di daerah-daerah yang jauh
dari pusat.
Walaupun
KPU pusat telah menetapkan standar seleksi yang tinggi, kenyataan di lapangan
masih jauh dari yang diharapkan. Afif mencontohkan saat menjadi anggota tim
seleksi komisioner KPU di suatu daerah. Meski peminatnya cukup tinggi, kualitas
sebagai penyelenggara yang mumpuni belum terpenuhi.
Dengan demikian, lanjut Afif, saat bertugas
melaksanakan tahapan pemilu, banyak penyelenggara yang melakukan pelanggaran,
baik yang disengaja maupun dilakukan karena masih kurangnya pemahaman mereka.
Situasi tersebut diperparah dengan dinamika politik di daerah-daerah yang
sangat tinggi. “Ruwet sekali di lapangan, apalagi daerahnya sempit, potensi
penyelewengannya sangat tinggi. Faktor penguasa, incumbent, politik uang
akhirnya tak terhindarkan,” ujarnya.
(Rel KPU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar