Rabu, 13 Agustus 2014

Parlemen



Ini bukan kisah  Parlemen Sinamo mapuan Parlemen Sinaga( Maaf bang hanya humor)  Namun kisah pembodohan  yang kerap dipertontonkan sejumlah ketua parpol yang mempunyai kader duduk dikursi dewan.
Maka jelang pilpres sering terdengar bahasa sumbang  dari ketua parpol perlunya eksekutif didukung parlemen yang kuat. Siapapun tahu legislatif dan eksekutif dua lembaga yang harusnya saling control ..jadi pernyataan legislative mendukung eksekutif itu tidak dapat ditelah bulat-bulat . 
    Legislative (parlemen) sebagai wakil rakyat dalam prakteknya mewakili rakyat dan bicara atas nama kepentingan rakyat. Sedang kepala daerah hingga presiden adalah eksekutif menjalankan anggaran yang tujuannya untuk kemakmuran rakyat. Lantas kalau keduanya sudah saling mendukung bukan tidak mungkin kepentingan rakyat yang menjadi terabaikan. Apalagi kalau kepala daerah adalah ketua parpol. Mungkinkah seorang enggota parlemen berani mengkritisi eksekutif yang nota bene adalah ketuanya? Mampukah anggota parlemen melawan kebijkan orang yang berhak memberhentikannnya?
    Penulis melihat selama kepala daerah dan kepala negera masih dibenarkan memangku jabatan ketua parpol maka parlemen hanya sebatas jabatan tanpa kuku.  bicara rakyat hanya omong kosong semata . berjuang demi rakyat hanya diungkapkan kala sidang dewan saja padahal dalam prakteknya hanya berjuang untuk mengembalikan cost politik atau menjual nama rakyat hanya untuk kepentingan pribadi.
    Penulis berani memastikan apabila dalam suatu daerah jumlah legislative dominan oleh kader salah satu parpol dimana ketuanya menjadi kepala daerah atau presiden hamper dipastikan rakyat didaerah itu akan menderita dengan minimnya perhatian kepada rakyat. Jadi eksekutif akan kuat jika didukung parlemen yang besar maksudnya adalah kuat karena tidak ada yang berani mengkritisi kebijkannya sekalipun itu bertentangan dengan kepentingan rakyat.
    Namun tidak juga menjadi benar apa yang dilakukan DPR RI dipenghujung jabatannya dengan mensahkan UU MD 3 dimana partai peraih kursi terbesar di dewan tidak otomatis menjadi ketua dewan. Letak ketidak benaranya adalah UU itu lahir hanya untuk kepentingan politik beberapa paprpol. Bukan didasarkan karena untuk perbaikan. Namun hanya untuk kepentingan penjegalan. Bagusnya UU itu memuat aturan kuat tidak membenarkan ketua dewan dari parpol yang sama dengan kepala daerah atau kepala pemerintahan. Ini lebih baik dan tidak ada unsure ketakutan didalamnya namun unsure untuk perbaikan. Lebih baik lagi itu diberlakukan sampai  daerah tingkat dua.
    Parlemen mendukung eksekutif selama demi rakyat adalah sesuatu yang positif  namun sejarah indonesia keberadaan parlemen sepertinya mendukung eksekutif karena didalam anggaran yang disahkan juga memuat kepentingan pribadi dewan. Bukan kepentingan rakyat. Maka pemanjaan parlemen dimulai dengan studi banding antar pulau. Adanya uang sidang juga dugaan pemberian sejumlah uang oleh pemerintah kepada dewan agar mau bersidang dan meloloskan anggaran yang diusulkan pemerintah. Inilah yang membuat kacau negeri ini. Demikian penafsiran salah soal pentingnya parlemen yang kuat untuk mendukung pemerintah. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar