Kamis, 21 Agustus 2014

Merdeka ! Selesai...



Sidikalang- Dairi Pers : Tidak ada yang berubah. Tidak juga bermimpi berharap inovasi. Apalagi memahami makna kemerdekaan sesungguhnya  untuk peningkatan kemakmuran rakyat. .Peringatan hari kemerdekaan RI untuk Dairi setiap tahunnya monoton hanya  sebatas ziarah ke makam Pahlawan,
upacara detik-detik proklamasi. Malamnya makan malam dengan istilah jamuan kenegaraan. Agar terlihat mengingat sejarah barisan veteran sedikit diistimewakan dengan tempat duduk juga saweran. Bagi  anak sekolah makna peringatan HUT RI sebatas tarik tambang, jalan santai dan turnamen sepak bola yang juaranya diumumkan usai upacara di stadion . Itu saja dan esoknya  18 Agustus semua berlalu. Begitu saja dan hanya begitu saja setiap tahun…
Demikiankah makna kemerdekaan yang diharapkan rakyat Dairi ? Segampang  itukah  kewajiban pemerintah  kepada rakyatnya ? apakah dengan upacara detik-detik proklamasi menyaksikan derap langkah paskibraka dengan baju putih dengan bendera lebar lantas sudah cukup memaknai arti kemerdekaan?
Memaknai kemerdekaan yang oleh “the founding Father “ lepas dari penjajahan  adalah tujuan 69 tahun silam. Justru kini makna kemerdekaan seutuhnya itu semakin kabur atau sengaja dikabur-kaburkan untuk kepentingan pribadi, kroni dan sekelompok orang.  Di mata rakyat awam Kritik anggaran daerah yang tertuang dalam APBD dianggap masih belum pro rakyat.  Alokasi anggaran masih prioritas kepada kebutuhan pemerintah. Diperkirakan sekitar 70 % DAU Dairi masih untuk kepentingan operasional PNS dan pemerintah.
Keluhan serta kritikan kurangnnya keberpihakan kebijakan kepada rakyat masih menjadi  hal yang kerap diteriakkan di Dairi. Faktanya rakyat Dairi belum merdeka secara ekonomi . Hasil pertanian masyarakat digantungkan pada spekulasi harga pasar. Peran pemerintah dalam menjamin kepastian harga produk pertanian masyarakat masih jauh dari harapan. Hal tersebut berdampak sulit bagi masyarakat Dairi bangkit secara ekonomi apalagi menambah  tingkat kemakmuran.
Ketidak mampuan ekonomi tersebut di kalangan masyarakat ditandai persentasi kemampuan orang tua untuk dapat menyelolakan anaknya hingga perguruan tinggi  sangat kecil. Banyak  anak Dairi tamatan setingkat SLTA akhirnya memilih merantau keluar Dairi hingga menjadi TKI.
Dipihak petani Dairi keluhan akan langkanya pupuk masih sering terjadi. Meski pasokan pupuk sesuai quota pemerintah lancar namun dalam prakteknya rakyat merasakan tidak merdeka dalam mendapatkan barang yang sangat dibutuhkan tersebut. Dugaan mafia pupuk bermain juga pantas dilontarkan meski hingga kini belum ada kasus pupuk bersubsidi di Dairi diselesaikan di meja hijau.
Bukan itu saja bagi masyarakat Dairi yang tinggal di perdesaan keluhan akan jalan rusak bukan hal baru lagi. Ketidak nyamanan dalam berkendaraan karena jalan yang rusak menjadi “ santapan” sehari-hari. Hingga muncul istilah “ bukan Dairi namanya kalau jalan tidak rusak “
Ketidak merdekaan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan untuk diperlakukan wajar dalam mendapatkan bantuan pemerintah dalam program nasional seperti BLSM, Raskin, Bedah rumah hingga program lain masih sering ditemukan penerima bantuan yang tidak wajar. Bahkan lebih parah ada oknum menjadikannnya sebagai lahan politik yakni menjadikannya ancaman kepada rakyat jelata tidak mendapatkan bantuan lagi ketika rakyat tidak sejalan dengan keinginan politik penguasa.
Demikian juga terjadi dalam politik . Rakyat merasakan ketidak merdekaan pilihan politik ketika tidak sependapat dengan keinginan penguasa. Banyak yang akhirnya menjtuhkan pilihan politik hanya karena takut dimutasi, takut terbuang, Takut tidak mendapat borongan  hingga takut  berbeda dengan penguasa. Meski pilihan politik adalah kemerdekaan dan hak azasi dalam prakteknya juga masih terasa sulit.
Isu rakyat yang ingin mengubah nasibnya menjadi seorang PNS harus mempunyai uang dan deking secara umum diakui rakyat masih terus terjadi bahkan semakin parah. Jabatan PNS sepertinya masih menjadi hak mereka yang merupakan anak-anak pejabat dan kroni penguasa. Meski sistim rekrut PNS didasarkan pada ujian akademis yang logikanya hanya mereka yang berkwaliatas secara akademis akan lulus . Justru mayortitas rakyat masih mengakui hal itu hanya sebagai formalitas belaka. Tetap mereka yang berhak bermimpi menjadi seorang PNS adalah dari kalangan anak pejabat hingga kroni pejabat.
Lantas sudahkan masyarakat  Dairi merasa merdeka dan diperlakukan sama di depan hukum? Bukan hanya Dairi kemerdekaan di bidang hukum sepertinya menjadi problema bangsa ini. Hingga Dairi juga tidak  terlepas dari ketidak puasan dalam pelayanan hukum dan keadilan.
Seiring progarm revolusi mental yang didengungkan presiden Terpilih Jokowi-JK agaknya pemangku kuasa dan kroni penguasa di Dairi harus dimerdekaan dari mental-mental kepentingan  pribadi. Mental kepentingan kelompok hingga kemakmuran sebatas kroni saja.  anggaran adalah untuk kemakmuran rakyat harus terus di dengungkan. Bahkan tidak berlebihan harus terus menjadi isu strategis untuk mengingatkan penguasa betapa rakyat masih setengah merdeka.
Makna kemerdekaan sesunguhnya dimata rakyat adalah hidup lebih baik. Mudah mendapatkan penghasilan , Mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dan perbaikan kesejahteraan. Jadi makna merdeka di Dairi bukan sekedar ziarah ke makam Pahlawan, upacara detik-detik proklamasi. Malamnya makan malam jamuan kenegaraan. Apalagi sedikit-sedikit pamer sawer (R.07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar