Rabu, 05 Februari 2014

Potong Telinga



      Banyak diantara kita untuk menguatkan cerita dan komentarnya  mempertaruhkan telinga dan leher. “ Ponggol pinggol hon molo boi i. Ponggol  rungkun hon… dang tolap na i” demikian bahasa garansi yang sering terdengar dari pengamat kampungan . Untuk memaksa agar ceritanya diakui orang lain kerap mengancam bagian-bagian tubuhnya jadi tumbal.

      Hingga kini penulis rindu melihat orang-orang yang sering mengancam bagian tubuhnya lantas  melakukan janji itu saat  analisanya meleset. Garansi latah dikaum jelata hanya memaksa hal yang tidak bisa dipastikannya. HIngga berharap orang lain mengiyakan ceritanya. Hingga kini dari mereka belum ada yang langsung memotong telinganya saat meleset. Biasanya cari alas an mengelak atau pura-pura tidak muncul selama beberapa hari agar tidak ditagih janjinya setelah menumbalkan anggota tubuhnya tersebut.
      Orang yang suka menumbalkan bagian tubuhnya itu biasanya mengeluarkan  tekhnik serius dan tegas saat memaksakan ceritanya untuk diakui orang lain . Biasanya juga kalimat tumbal itu keluar saat orang lain terlihat tidak percaya akan cerita yang dibahas.
      Saat pilkada DKI jumpa difinal Jokowi dan Foke ada seoarang pengamat local di Dairi menumbalkan lehernya dipotong kalau jokowi tidak bisa menang. Dia bertahan dengan dalil semua partai mendukung Foke.  Semua lembaga survey katakan  foke menang. Hasilnya kini sudah setahun lebih jokowi memimpin DKI orang yang menjanjikan lehernya dipotong itu terlihat sehat saja. Tak sedikitpun goresan di lehernya.
      Lain lagi dengan seorang pemborong di pemkab Dairi yang saya kenal. Yang satu ini senjatanya untuk menyakinkan relative beresiko kecil hanya mematahkan rokoknya. Untuk menyakinkan orang “ Nah nyon bereng…” sebutnya sambil mematahkan rokoknya meski baru dihisap satu dua kali saja. Sayang sekali padahal harganya masih ada 800  perak nilai rokok itu tetapi sudah dipatahkan. Disertai suara sedikit meninggi berharap pendengar percaya akan koyo yang diceritakan.
      Orang batak memang dikenal dengan mof dan percaya diri  yang luar biasa. Sifat asli itu terbawa hingga kemanapun saat dirantau. Banyak berhasil karena mof dan percaya diri yang tinggi. Disertai suara yang keras meski ceritanya tidak masuk akal. Namun karena disajikan secara membabi buta justru melahirkan ketakutan yang mendengar. Ujungnya mendiamkannya bagai radio busuk cuap cuap.
      Menjadi satu pemandangan menarik saat sidang sengketa pilkada Dairi 2013 di gedung MK. Puluhan pendukung cagub Maluku Utara yang merusak MK tidak terdengar suara kerasnya namun semua sudah diatas meja dan merusak asset didalamnya. Dengan logat Indonesia timur hanya berkata “ itu tidak bisa”
      Mungkin jika itu tadinya orang batak suaranya akan terdengar hingga ke monas. Terdengar garang tetapi perbuatan rata-rata air saja.
      Ini budaya di kampung halaman yang hingga kini masih terpelihara rapi. Mengancam bagian tubuh untuk dipotong sudah menjadi hal biasa. Tidak ada trauma dan merasa bersalah telah menumbalkannya. Mungkin juga karena tidak ada resiko dan hukuman bagi orang-orang yang gemar mengancam potong telinga itu maka budaya ini tetap lestari hingga kini. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar