Rabu, 30 Januari 2013

Setelah Harimau...Matahari


    Suatu sore di medio januari sebuah lagu batak judul “ Poda”  yang dinyanyikan Viktor Hutabarat mengispirasiku akan rublik yang miring edisi ini. Sekretaris di kantorku membunyikan lagu sendu
sayup “ angur do goar mi anakkon hu songon bunga-bunga i..mola marparange na denggan do ho di luat na dao i. Ingkon  benget do ho marroha jalan pantun maradoppon natua tua. Ai ido arta na um marga i..di ngolu mi” saya menggaris bawahi parange na denggan dan benget mar roha ai ido arta na um marga i. Betapa orang tua berharap anaknya rendah hati tidak sesumbar, arogan dan pantang so bilak.
      Aku yakin orang tua manapun tidak pernah mengajari anaknya untuk berkata “ babiat pe hulakkai” dan satu lagi orang tua mana juga pasti berpesan agar jangan sekali sekali anaknya merasa selayaknya  matahari. Boleh jadi kisah hercules bertarung melawan harimau dan harimau kalah. Namun belum pernah ada kisah manusia sampai ke matahari.  Jadi jika ada orang sesumbar berkata setebal apa juga embun yakinlah matahari akan menembusnya adalah sebuah kalimat arogan, berlebihan dan sesumbar. Kesombongan yang menyengat hingga memposisikan diri layaknya matahari. Sungguh sebuah kalimat tendensius mengecilkan semua orang. Sungguh bukan manusia batak yang Serep Marroha. Tetapi saya mendukung  dan berdoa dia bisa sampai di matahari lantas  terpanggang disana tanpa kuburan.
      Mengikuti progres mentalitasnya yang makin lama makin buruk ada rasa kasihan yang mendalam. Anda tahu jika orang besar kasihan kepada orang kecil itu hal biasa. Namun ini yang  luar biasa dan  pantas dicermati ketika orang kecil sangat kasihan melihat orang besar . Bayangkan dahulu berkata harimau bisa dilangkahi kini merasa diri matahari hingga mengganggap embun tidak akan bisa menghalangi .
      Saya teringat kisah seorang pejabat Pakpak Bharat yang sangat percaya diri merasa bisa mengatur semua. Meski tersandung korupsi masih arogan dan lantang bicara. Saat dijemput paksa  Jaksa dari rumah akhirnya “mukung”.. Aku hanya berdoa dalam waktu dekat akan ada pejabat eselon II  dari Dairi juga akan ikut menyusulnya menginap di hotel Rimo bunga. Pejabat ini adalah wasit kotor dulu saat pertandingan hercules dan Harimau berlangsung. Wasit kotor wajarlah di mangsa harimau . Bagaimanapun juga meski harimau kalah tetapi dia tetap pemakan daging.
      Aku hanya ingin berkata desember 2012 silam di Dairi pernah dalam tiga hari berturut-turut tak sedikitpun sinar matahari bisa menembus embun. Kala itu mendung hitam bergelayut. Sesungguhnya kelembutan embun bisa menjadi malapetaka ketika dia menebal dan menghitam. Tidak percaya? Mumpung masih segar lihat saja langit Bogor yang  kini penuh dengan embun. Dan karena benda lembut ini juga jakarta babak belur bahkan sampai menelan korban jiwa. Matahari tidak bisa berbuat apa.
      Mengangkat diri layaknya matahari sah-sah saja .  Menganggap orang lain lemah kecil dan tak berdaya juga sah-sah saja. Namun juga tidak bisa dilarang kalau orang menilai model begini  hanya sekelas manusia lemah yang bersembunyi dibalik permainan lidah. Karena sesungguhnya hidup bukan hanya sebatas jabatan, harta dan pangkat. Hidup yang sesungguhnya adalah ketika nama tercatat harum semasa hidup apalagi setelah mati.
      Jadi jika ada manusia masih berpikir sebatas jabatan, pangkat dan harta hingga berlaku arogan dan lupa diri lantas menghalalkan segala cara maka yakinlah yang diwariskan kelak hanya bau busuk yang sepanjang masa lengket di hidung para keturunannya. Tak percaya silahkan mencoba ….he..he.. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar