Rabu, 27 Februari 2013

300 Kepala Daerah, 2976 DPRD Masuk Penjara Karena Korupsi


    Jakarta-Dairi Pers : Praktik korupsi di daerah semakin merajalela. Kepala daerah yang terjerat kasus hukum pun terus bertambah. Kemendagri meramalkan, hingga akhir tahun 2013
total kepala daerah yang terjerat kasus korupsi mencapai 300.
      Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi.
      Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini.
“Jumlah 291 tersebut sudah termasuk Gubernur RZ yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK kemarin. Saya yakin jumlahnya akan bergerak terus sampai 300 orang,” ungkap Djohermansyah
      Djohan membeberkan, selain kepala daerah, korupsi di daerah juga menjerat anggota parlemen. Dia mengungkapkan, anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545.
      “Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia,” bebernya.
      Djohan menyatakan, jumlah aparatur pemerintah di bawah kepala daerah yang terlibat korupsi juga tinggi, mencapai lebih dari 1.200 orang. Biasanya, aparatur di bawah kepala daerah ikut terlibat praktik korupsi karena terseret perbuatan kepala daerah.
“Aparatur birokrasi yang terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang,” ungkapnya.
      Berdasarkan kajian Kemendagri, kata Djohan, banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi merupakan hasil dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Untuk bertarung di pilkada, calon kepala daerah terpaksa mengeluarkan ongkos politik yang mahal.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya politik pilkada langsung sangat mahal. Makanya berbagai cara dilakukan kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya politik,” jelasnya.
      Menurut dia, biaya politik tak hanya besar saat pencalonan dan kampanye. Setelah calon kepala daerah berhasil mendapatkan jabatan, mereka juga harus mengeluarkan biaya besar untuk memelihara konstituen dan membayar duit balas jasa terhadap partai politik (parpol) pengusung.
      “Penyalahgunaan wewenang banyak terjadi proyek pelaksanaan barang dan jasa. Program pelaksanaan barang dan jasa hasilnya sering digunakan membiayai konstituen dan parpol pendukung, serta mengembalikan modal politik. Ini hasil hipotesa kami,” bebernya.
      Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro tidak terkejut melihat tingginya angka korupsi kepala daerah. Menurut dia, sistem multi partai dan pilkada langsung adalah pemicu utama kepala daerah melakukan korupsi.
“Pemilihan langsung membuat cost politik besar. Selain memikirkan rakyat, kepala daerah juga harus amankan partai, konstituen dan tim sukses ,” ujarnya .
Menurut Siti, sistem pemilihan langsung yang ada saat ini sudah berada di luar koridor. Sistem yang awalnya bertujuan menciptakan pemimpin yang membawa amanah dari masyarakat, justru sebaliknya.
Siti menyatakan, untuk menekan praktik korupsi di daerah hanya bisa dilakukan dengan reformasi di birokrasi dan partai.  Untuk reformasi birokrasi, kata dia, kepala daerah harus melakukan penataan perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Ke depan, rekrutmen PNS harus dilakukan lebih transparan,” katanya.
Sedangkan untuk reformasi di parpol, kata Siti, parpol dalam mengusung kepala daerah tidak boleh lagi menjadikan uang dan materi sebagai instrumen utama mendukung calon kepala daerah.
      “Parpol harus mulai menetapkan calon kepala daerah dengan profesional.  Berdasarkan kompetensi dan kemampuan leadership. Bukan banyak atau sedikitnya uang yang disetor sebagai mahar,” pungkasnya. (R.07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar