Pada
jaman orang belum mengenal uang sebagai alat tukar maka sebuah komitmen dilakukan dengan barter.
Inti dari barter adalah olo tu olo (Mau sama mau). Meski mengalami banyak kesulitan karena tidak
ada ukuran agaknya zaman sekarang gaya itu kembali dipraktekkan.
Maka jangan
terkejut jika sekarang praktek itu kerap dilakukan. Paling lucu dalam even
penting saja sering dilakukan.
Saya
tidak berani menuduh dalam rekruitmen CPNS, Staf di PD Pasar juga di Perusahaan
daerah sepertinya masih berlaku olo tu olo. Cukup aneh memang tetapi itulah
faktanya ujian dan persyaratan yang telah dibentuk sepertinya hanya sekedar
syarat diatas kertas saja. Pada finalnya tetap olo tu olo. Maka ketika mulai
kerja hasilnya juga sama tidak memberikan prestasi. Wajar
tidak berprestasi karena alat ukur yang digunakan ganda yakni test dengan soal dari pemerintah dan olo tu olo.
Saya
tersenyum mendengar KPU Dairi diadukan ke DKPP dengan dugaan meluluskan salah
satu calon yang tidak lengkap syarat
administrasi. Sungguh aneh memang persyaratan calon Bupati cukup
jelas mulai dari syarat administrasi ijazah, dukungan parpol dan kesehatan. Sebenarnya dengan berpedoman alat
ukur itu tidak perlu ribet KPU dalam memutuskan. Yang membuat ribet muncul
istilah pleno. Bagaimana mungkin muncul alat ukur baru pleno ketika sudah ada
alat ukur yang dtetapkan undang undang. Dua alat ukur yang membuat hasil
seleksi ribet.
Sungguh menggelitik ada persyaratan yang jelas sesuai
undang-undang lantas muncul istilah
pleno.. Kalau mau jujur tetapkan saja satu alat ukur seleksi sesuai undang-undang maka cukup urutkan
hasilnya. Calon si A lengkap, Si B kurang, Si C lengkap dan seterusnya. Urutkan
saja transparan agar dapat diakses rakyat. Yang membuat kacau sesungguhnya
panitia sendiri dengan bersembunyi dibalik kalimat “ Dokumen negara” alasan
yang dibuat-buat untuk menutupi apa sesungguhnya yang terjadi.
Tentu
dengan munculnya istilah pleno akan membuka ruang debat dan banyak perhitungan.
Bayangkan hingga ke faktor kemungkinan dampak keamanan juga dibahas. Padahal
yang mengurusi keamanan ada polisi dan teritorial. Sungguh plenolah yang
membuka peluang ketidak jujuran.
Percaya
atau tidak pleno salah satu cara mempraktekkan program olo tu
olo. Pleno juga bisa digunakan sebagai dalih tarik menarik kepentingan untuk
menyembunyikan kepentingan pribadi panitia atau wasit pertandingan. Karena gaya
sedemikian justru menjadikan negeri ini semakin terpuruk. Saya melihat lebih
berkwalitas cara seleksi yang dilakukan SMAN 1 Sidikalang untuk masuk RSBI
dahulu. Semua siswa test dan hasil test langsung diperiksa komputer yang bisa
dilihat langsung peserta. Karena komputer tidak dapat disogok maka tidak ada
perkara saat itu. Semua menerima hasil ujiannya. Tidak ada program olo tu olo.
Saya
yakin andaikan KPU menerapkan
transparansi menunjukan kelengkapan persyaratan semua calon bupati/calon wakil
bupati maka tidak akan ada kisah adu mengadu, kisah periksa diperiksa.
Persoalannya sederhana belum sanggup berbuat transparan maka bersembunyi
dibalik kalimat indah “ Dokumen negara” wajar saja dugaan ada proyek olo tu olo
dalam kasus tersebut.
Bayangkan
saja karena olo tu olo ini negeri ini terus terpuruk. Sampai sekarang belum ada
transparansi hasil test CPNS. Hasil test calon pegawai BUMD . Yang ada
nama-nama siapa yang diterima. Maka wajarlah negeri ini semakin runyam karena
memang diatas alat ukur sesuai peraturan juga memainkan alat ukur lain olo tu
olo. (Chief Of Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar