Di restoran dengan masakan yang menggugah selera kerap kita
minta tambuh. Apalagi baru sekali menikmati hidangan berkelas maka enteng saja berkata “ Tambuh
Ciek” toh dibayar kok. Tolap tolap na mangan I . Jora jora na male ida-ida na
bosur . Habis enak seh… he..he… Pemilik rumah makan juga tak perduli siapa dia
selama pembayaran jelas kasihkan
saja.Tak perduli yang makan itu pejabat
atau penjahat , seorang Tokoh atau tukang tokoh,
Pemborong atau pembohong pokoknya selama jelas pembayaran kasihkan
saja. Yang penting cair.
Pilkada tidak lebih dari cerita makan direstoran. Mudah bagi
siapapun calon yang berasal dari incumbent berkata tambuh ciek. Rakyat juga bak
pelayan restoran selama jelas dibayar maka langsung memilih. Apalagi saat
pelayan dipuji enak masakannya maka akan terlena . Rakyat juga tak perduli itu
uang APBD atau uang negara. Selama diberikan terima saja persis seperti selokan
parit siap menampung apa saja mulai dari sendal putus, sampah hingga air
comberan yang berbau. Selama cair maka semua lancar mengalir..
Undang undang pilkada. Putusan MK soal pembatalan calon
incumbent harus mundur semakin memudahkan mereka melanggar aturan. Menggunakan
PNS, Camat, Perangkat birokrat dengan tekanan kekuasaan cukup efektif meski itu
salah dan melanggar undang-undang. Bahkan sebaliknya justru oknum birokrat
lebih takut kepada Bupati daripada undang-undang. Maka birokrat bertindak
dongok saja persis kerbau cucuk hidung. Begitu mudahnya untuk mendapatkan “
tambuh ciek” karena banyak birokrat yang
ingin dijadikan kerbau yang rela dipukul, dicucuk hidungnya lantas ditunggangi.
Bahkan kini diantara sesama kerbau malah bersaing untuk dijadikan tunggangan.
Sahabat saya Dahlan Sianturi berkata jangan pernah memilih calon
Bupati jenis gembala kerbau. Namun pilih jenis gembala domba. Pasalnya gembala
kerbau itu biadap duduk santai diatas kerbau sambil berdendang dengan seruling.
Sedang gembala domba kadang mengangkat domba kecil jika kelelahan berjalan.
Meski demikian persoalan yang tengah terjadi justru kini banyak kerbau yang
badannya gatal kalau gembalanya tidak menunggang punggungnnya. Kerbaunya sedih
kalau badannya tidak dipukul. Begitulah mental kerbau sekarang.
Paling kacau kerbau kerbau tersebut malah ikutan bilang cocok
tambuh ciek. Jadi gembala dan kerbaunya sama-sama rusak. Kerbau ikutan gila demi diperbolehkan makan
rumput hijau. Sudah terbiasa makan disuguhi maka tidak berani menjadi kerbau
liar yang tangguh sanggup mencari makan tanpa hidung ditali.
Kembali kepada Tambuh ciek direstoran salah satu ,menu paling
enak itu adalah rendang sapi atau kerbau. Maka demikianlah pahitnya nasib
menjadi kerbau., Setelah tenaga habis atau badan kelewat subur dan gendut siap
dijual dan dijadikan rendang. Muncul pula yang makan bilang tambuh ciek. Rakyat
yang memberikan tambuh justru ‘ menjagalkan” sang kerbau.
Artinya tidak heran demi tambuh ciek banyak birokrat yang siap
jadi kerbau bahkan dongoknya badan juga dipertaruhkan jadi rendang demi selera
bosnya pingin tambuh jabatan sekali lagi. Namun bagi rakyat itu tidak jadi masalah. Mau dari mana uang bayarannya
tidak perduli toh nanti juga setelah jadi pembesar tetap melupakan lagi rakyat.
Maka mau tambuh ciek tambuhlah situ tapi jelas pembayarannya. Jika tidak maka
siap-siap saja kena maki. (Chief Of Editor)
Tidak perduli siapa yg akan menjadi bakal bupati nanti,
BalasHapusAsalkan bapak2 yg sudah mencalonkan jangan lupa akan janji2 manisnya lh, dan diharapkan jgn ada putaran suara kedua, karna sama halny akan memakai APBD dari sebnyak 60 miliar (hanya sebagai instruksi saja)