Kamis, 04 April 2013

Adaptasi Di Kehidupan Semu


      Ilmuwan mengakui salah satu hewan purba yang bertahan hidup hingga kini adalah buaya. Mahluk reptile itu bertahan setelah beradaptasi dengan kondisi. Kelompok hewan berbadan besar dinosaurus, Trexsaurus yang berbadan besar gagal beradaptasi . Kisahnya hanya bisa dikhayalkan di film Jurassic Park

      Seorang sahabat saya Dairi Lingga pecan silam bercerita bagaimana dia ketika bersama penasehat kapolri memasuki dunia baru di Jakarta. Diajak makan siang di hotel Indonesia dan hotel hotel berbintang lima yang menunya dalam bahasa inggris dan China saat ditanya pesan makanan apa hanya berkata samakan saja. Cara makan harus diatur dan lagu pengiring juga lagu amrik latin, lagu inggris dan spanyol. Pokoknya internasionallah. Maka ketika dia mau request lagu “anak medan” langsung di bentak sabahatnya yang penasehat Kapolri “ Ai bereng jo situasi..so diboto halak lagu anak medan. Di ho do jago I” sebutnya sambil tertawa membeberkan pengalamannya.
      Sahabat saya ini menceritakan itu meski dalam guyonan yang sanggup membuat pinggang sakit ingin menyampaikan pesan. Mengertilah dan bertindaklah dimana tengah berada. Beradaptasilah sesuai keadaan. Tokoh pemuda Dairi yang  mengarungi pergaulan tingkat tinggi di Jakarta itu punya banyak pengalaman yang sebenarnya berisi  banyak pesan-pesan moral disana. Hingga dia siap  harus beradaptasi sesuai situasi agar bertahan hidup minimal tidak malu.
      Saya tidak tahu apakah ini wajar dan lumrah dimata rakyat . Hari gini seorang kepala daerah masih bicara soal binatang-binatang “ Harimau dilangkahi” hare gene masih bicara makan pisau silet, sama siapapun tidak takut dan banyak bahasa aneh yang biasanya diucapkan seorang mandor di terminal. Sebuah adaptasi yang gagal. Namun ada lagi yang salah adaptasi saat menduduki jabatan puncak suka sekali mengucapkan Taik kuccing. Entah apa hebatnya taik kuccing itu sama dia hingga memenuhi ruang otaknya ketika kesal.
      Ada juga pejabat ketika naik  jabatan gunakan adaptasi dengan gaya muka masem. Gaya diam. Mungkin gaya adaptasi itu agar disegani orang atau memang takut ketahuan bodoh saja kalau lagi bicara.
      Sesungguhnya mempertahankan hidup tidaklah mudah. Maka kadang orang rela beradaptasi sekalipun itu adaptasi keburukan. Maka sering kita lihat tadinya mengkritisi , memaki dan memburuk-burukkan  akhirnya menjilat habis. Demi jabatan dan gaya hidup rela menjual harga diri. Dan sanggup menjilat ludah sendiri. Memakan daging kawan sendiri .Inilah adaptasi terpaksa agar bisa bertahan. Caranya mudah  Cukup membuang rasa dan membunuh hati kecil untuk bisa bertahan. Kelemahan  yang dimiliki begitu besar sehingga takut menghadapi kebenaran.
      Sungguh itu menjadi hak  prerogatif siapapun untuk menggeluti model adaptasi yang dimiliki . Namun hak orang lain juga untuk menilai  gaya yang kita pilih. Karena sesungguhnya alam juga menjadi alat seleksi akhir musnah atau bertahan. Jadi tidak menjadi larangan ketika bicara lantam , bicara kotor atau rubah pribadi jadi penjilat , diam,  bergaya , dan marah jika itu diyakini membuatnya bertahan.
                Namun tetap saja tidak menjadi dosa untuk membahas gaya- gaya adaptasi yang dipilih . Cemoohan dan  nilai negative adalah bagiannya. Tinggal bagaimana mempertahankan gaya itu agar nantinya tidak malu ketika seleksi alam berlangsung. Karena sesungguhnya adaptasi terbaik dalam hidup adalah “ jadilah diri sendiri”. Jangan pernah menjadi orang lain di kehidupan semu. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar