Semua orang pasti tidak suka kegilaan. Namun ketika budaya
sudah tidak terkendali dibutuhkan sebuah kegilaan. Itulah fakta dan di negeri
ini beberapa kali sudah terpraktekkan. Merdekanya Bangsa ini boleh jadi sebuah
kegilaan ketika Bambu runcing melawan meriam.
Jatuhnya Soeharto adalah tindakan
benar sebuah kegilaan dari mahasiswa. Jadi kegilaan juga berharga dibutuhkan
kala tertentu.
Sepertinya akses dari pilsung yang menjadi pilih telah membuat
di daerah tingkat II melahirkan raja-raja kecil. Pemilihan kepala daerahnya
cara demokrastis namun saat mempimpin tidak beda dari seorang raja yang
otoriter. Suka-suka tanpa perduli peraturan pusat. Dilain pihak meski daerah
melanggar aturan pusat juga tutup mata. Sesungguhnya inilah pembiaran yang
terjadi atas nama otonomi daerah.
Saya tidak mengatakan kondisi sekarang sudah gila namun
faktanya bayangkan pemerintah pusat memberikan uang ke daerah dalam bentuk APBD namun daerah
suka-suka saja. Artinya seorang kepala daerah tidak mencari uang dengan sendiri
namun diberikan pusat . Gila berani-beraninya berlaku suka-suka dan langgar
aturan. Bayangkan jika kepala daerah sendiri yang cari APBD secara swasembada
maka tindakan lebih konyol otoriter pasti terpraktekkan. Maka menguji ini perlu
juga pemeritah pusat mencoba kebijakan agar setiap daerah cari anggaran
masing-masing. Maka kan terlihat kepala daerah yang loyo, mandul yang pada gilirannya akan sadar tidak ada
apa-apanya. Selama ini sok berkuasa karena ada dana. Sok hebat perintah orang
karena gaji anak buah telah dipikirkan pemerintah pusat. Bukankah harga seorang
bos diukur dari bisa bayar gaji atau tidak?.
Bukan itu saja sepertinya kegilaan terus berlangsung dengan
mutasi suka-suka, pemilihan kabinet berdasar suka atau tidak suka. Proyek hanya
untuk kroni dan alat untuk menekan lawan politik dan mempertahankan kekuasaan.
Sebuah daerah sepertinya milik sekelompok orang saja. Jadi ini sebuah
penghianatan terhadap UUD 45 kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia .
Bagiku ini sebuah kegilaan yang sudah mewabah dan hampir semua daerah
melakoninya dan sadisnya dicueki pemerintah pusat pula. Adalah benar ada
instrumen hukum polisi, jaksa dan hakim. Pengawasan BPK, Inspektorat dan
macam-macam lagi. Pertanyaannya sudah benarkah mereka melakukan tupoksinya?
Mungkin ektrim sepertinya dimasyarakat yang dipercayai tinggal KPK.
Jadi sebaikya pemerintah pusat tidak usah lagi memikirkan
anggaran daerah. Cari masing-masing saja. Dengan demikian akan terlihat seorang
kepala daerah yang berkwalitas mampu me manajemen dan kepala daerah akan sadar
tidak asal mencalonkan diri lagi. Kondisi sekarang pekerjaan paling mudah itu
kepala daerah karena hanya memerintah tanpa memutar otak mencari gaji pegawai.
Ada yang melawan tinggal mutasi. Soal pegawai pintar, potensial dan dongok harganya
sama. Jadi pegawai yang baik dan aman berlaku Asal Bapak Senang. Sekalipun
pimpinannya sudah melanggar aturan, etika, kepatutan, dan mengusik rasa
keadilan.
Harusnya dengan kondisi ini muncul sebuah kegilaan dari
pemerintah pusat semacam tidak memberikan anggaran ke daerah lagi. Atau
mengembalikan ke sistim lama pilkada oleh Dewan saja. Ini lebih baik
menyelamatkan sosial masyarakat yang kebayakan menangis karena pilsung.
Namun demikian bisa juga tetap mempertahakan kondisi ini .
Agar tidak melanggar amanat UUD maka dirombak saja “untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia “menjadi “untuk kesejahteraan sekelompok orang masyarakat Indonesia”.
Maka semua akan beres dan apa yang dilakukan kepala daerah sekarang menjadi
benar dan tidak melanggar hukum. Sederhana kan? (Chief Of Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar