Rabu, 12 September 2012

Butuh Kegilaan


      Semua orang pasti tidak suka kegilaan. Namun ketika budaya sudah tidak terkendali dibutuhkan sebuah kegilaan. Itulah fakta dan di negeri ini beberapa kali sudah terpraktekkan. Merdekanya Bangsa ini boleh jadi sebuah kegilaan ketika Bambu runcing melawan meriam.
Jatuhnya Soeharto adalah tindakan benar sebuah kegilaan dari mahasiswa. Jadi kegilaan juga berharga dibutuhkan kala tertentu.
       Sepertinya akses dari pilsung yang menjadi pilih telah membuat di daerah tingkat II melahirkan raja-raja kecil. Pemilihan kepala daerahnya cara demokrastis namun saat mempimpin tidak beda dari seorang raja yang otoriter. Suka-suka tanpa perduli peraturan pusat. Dilain pihak meski daerah melanggar aturan pusat juga tutup mata. Sesungguhnya inilah pembiaran yang terjadi atas nama otonomi daerah.
       Saya tidak mengatakan kondisi sekarang sudah gila namun faktanya bayangkan pemerintah pusat memberikan uang  ke daerah dalam bentuk APBD namun daerah suka-suka saja. Artinya seorang kepala daerah tidak mencari uang dengan sendiri namun diberikan pusat . Gila berani-beraninya berlaku suka-suka dan langgar aturan. Bayangkan jika kepala daerah sendiri yang cari APBD secara swasembada maka tindakan lebih konyol otoriter pasti terpraktekkan. Maka menguji ini perlu juga pemeritah pusat mencoba kebijakan agar setiap daerah cari anggaran masing-masing. Maka kan terlihat kepala daerah yang loyo, mandul yang  pada gilirannya akan sadar tidak ada apa-apanya. Selama ini sok berkuasa karena ada dana. Sok hebat perintah orang karena gaji anak buah telah dipikirkan pemerintah pusat. Bukankah harga seorang bos diukur dari bisa bayar gaji atau tidak?.
       Bukan itu saja sepertinya kegilaan terus berlangsung dengan mutasi suka-suka, pemilihan kabinet berdasar suka atau tidak suka. Proyek hanya untuk kroni dan alat untuk menekan lawan politik dan mempertahankan kekuasaan. Sebuah daerah sepertinya milik sekelompok orang saja. Jadi ini sebuah penghianatan terhadap UUD 45 kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia . Bagiku ini sebuah kegilaan yang sudah mewabah dan hampir semua daerah melakoninya dan sadisnya dicueki pemerintah pusat pula. Adalah benar ada instrumen hukum polisi, jaksa dan hakim. Pengawasan BPK, Inspektorat dan macam-macam lagi. Pertanyaannya sudah benarkah mereka melakukan tupoksinya? Mungkin ektrim sepertinya dimasyarakat yang dipercayai tinggal KPK.
       Jadi sebaikya pemerintah pusat tidak usah lagi memikirkan anggaran daerah. Cari masing-masing saja. Dengan demikian akan terlihat seorang kepala daerah yang berkwalitas mampu me manajemen dan kepala daerah akan sadar tidak asal mencalonkan diri lagi. Kondisi sekarang pekerjaan paling mudah itu kepala daerah karena hanya memerintah tanpa memutar otak mencari gaji pegawai. Ada yang melawan tinggal mutasi. Soal pegawai pintar, potensial dan dongok harganya sama. Jadi pegawai yang baik dan aman berlaku Asal Bapak Senang. Sekalipun pimpinannya sudah melanggar aturan, etika, kepatutan, dan mengusik rasa keadilan.
       Harusnya dengan kondisi ini muncul sebuah kegilaan dari pemerintah pusat semacam tidak memberikan anggaran ke daerah lagi. Atau mengembalikan ke sistim lama pilkada oleh Dewan saja. Ini lebih baik menyelamatkan sosial masyarakat yang kebayakan menangis karena pilsung.
       Namun demikian bisa juga tetap mempertahakan kondisi ini . Agar tidak melanggar amanat UUD maka dirombak saja “untuk kesejahteraan rakyat Indonesia “menjadi “untuk kesejahteraan sekelompok orang masyarakat Indonesia”. Maka semua akan beres dan apa yang dilakukan kepala daerah sekarang menjadi benar dan tidak melanggar hukum. Sederhana kan? (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar