Jumat, 04 Mei 2012

Kepala Daerah

Kepala Daerah Jadi Mesin Korupsi
      · Tiap Tahun 21 Kepala Daerah Jalani Pemeriksaan Dugaan korupsi     
Jakarta-Dairi pers : Ditenggarai  akibat tingginya biaya pemilukada , mentalitas kepala daerah ikut terganggu. Banyak kepala daerah terseret  ke jalan pintas  korupsi untuk membayar ongkos politik di Pilkada. 
Selama periode 2004-2012, sudah 173 kepala daerah yang menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Tragisnya lagi, 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana Artinya, sepertiga dari jumlah kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus hukum jenis korupsi (Kompas, 17/4/12).
Sementara itu Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek  menyebutkan “Dari jumlah itu sekitar 70 persen di antaranya yang telah diputus pengadilan dan sudah harus diberhentikan .Selain korupsi, menurut dia, terbelitnya para kepala daerah ini dengan persoalan hukum adalah akibat sejumlah hal. Seperti akibat ketidakpahaman soal pengelolaan anggaran, ketiga karena tekanan politik, keempat akibat lemahnya kapasitas SDM daerah dan kelima karena politik balas budi,
          Pemerintahan  daerah saat ini sesungguhnya berada dalam situasi darurat korupsi. sudah 173 kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 70% di antaranya berstatus terpidana. Itu artinya setiap tahun ada 21 kepala daerah atau setiap bulan ada dua kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa. Fakta itu membungkam tekat bangsa ini memerangi korupsi. Kenyataan lain para kepala daerah telah berubah menjadi mesin korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi seperetinya hanya dipusat saja. Dengan kenyataan ini harusnya KPK sebagai lembaga yang masih dianggap  paling kredibel harus turun ke daerah tingkat II.
Bila melihat banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terjadi dalam kurun waktu 2004-2012, di mana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah berada dalam rezim UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No 12/2008, maka kesimpulan sederhananya adalah para kepala daerah yang korupsi itu lahir dari UU No 32/2004. Mungkin bukan karena undang-undangnya yang salah, tapi sistem pemilihan kepala daerah yang diatur di dalamnya yang barangkali menjadi pemicu kepala daerah terpilih “terpaksa” melakukan korupsi.
Bukan rahasia umum lagi biaya pilsung pemilihan kepala daerah sejak penyewaan partai mencapai miliaran rupiah . Dan tidak dapat dipungkiri hampir semua proses pemilkuda langsung memenagkan calon dengan membeli suara pemilih. Belum lagi biaya kampanye yang tinggi semakin menyeret cost politik yang tinggi.
Tingginya biaya ini membuat para calon putar otak mengikutkan cukong-cukong dalam pendanaan untuk memenangkan pertarungan . Maka ketika memenangkan pilkada pertama yang harus dilakukan pengembalian hutang. Selanjutnya  balas jasa kepada para Timsukses . Ini bukan menjadi tugas mudah dan untuk menutupi hutang tersebut kepala daerah mencari celah di APBD untuk mengembalikan biaya itu. Merampok APBD menjadi salah satu cara mudah dalam mengembalikan hutang saat proses pilkada berlangsung. Hasil akhirnya rakyat yang harusnya menikmati APBD justru “APBD ditukangi” hanya untuk kepentingan kepala daerah dan kroni.
Kenyataan ini harusnya menjadi bahan masukan bagai DPR-RI yang saat ini membahas UU Pemilukada. Sehingga produk hukum yang bakal ditandatangani itu tidak hanya sekadar munculnya undang-undang baru namun lebih jauh menjamin anggaran negara dapat dinikmati rakyat.
173 kepala daerah tersangkut korupsi bukanlah angka yang kecil . Dugaan kuat justru penyebab para petinggi kabupaten ini jatuh kejurang korupsi karena sistim pemilukada yang dianggap belum mapan ditengah masyarakat. Pemilihan langsung untuk kabupaten dan kota telah melahirkan masalah sosial dimasyarakat kelas bawah yakni timbulnya sekte-sekte perbedaan. Disisi lain istilah teman dan tidfak teman semakin membuat masalah sosial di tengah masyrakat meruncing.
Pemilu sistim ini telah melahirkan pemimpin daerah yang sepertinya  hanya sekelompok orang yang awalnya menjadi timsukses. Sehiungga yang menikmati pemerintahan dan fasilitas negera justruyang dekat dengan kekuasaan. Hal ini berlaku hampir disemua daerah tingkat II.
                Jumlah 173 kepala daerah bermasalah korupsi ini harusnya menjadi alat pembanding bagi DPR-RI masihkah layak sistim pilsung diterapkan di tingkat II?. Faktanya rakyat belum siap pilsung dan banyak juga kepala daerah yang menang justru tidak siap menjadi kepala daerah. (R.07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar