· Tiap Tahun
21 Kepala Daerah Jalani Pemeriksaan Dugaan korupsi
Jakarta-Dairi pers :
Ditenggarai akibat tingginya biaya
pemilukada , mentalitas kepala daerah ikut terganggu. Banyak kepala daerah
terseret ke jalan pintas korupsi untuk membayar ongkos politik di
Pilkada.
Selama periode 2004-2012, sudah
173 kepala daerah yang menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi,
tersangka, dan terdakwa. Tragisnya lagi, 70 persen dari jumlah itu sudah
mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana Artinya, sepertiga
dari jumlah kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus hukum jenis korupsi
(Kompas, 17/4/12).
Sementara itu Kepala Pusat
Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek menyebutkan “Dari jumlah itu sekitar 70
persen di antaranya yang telah diputus pengadilan dan sudah harus diberhentikan
.Selain korupsi, menurut dia, terbelitnya para kepala daerah ini dengan
persoalan hukum adalah akibat sejumlah hal. Seperti akibat ketidakpahaman soal
pengelolaan anggaran, ketiga karena tekanan politik, keempat akibat lemahnya
kapasitas SDM daerah dan kelima karena politik balas budi,
Pemerintahan daerah
saat ini sesungguhnya berada dalam situasi darurat korupsi. sudah 173 kepala
daerah terjerat kasus korupsi dan 70% di antaranya berstatus terpidana. Itu
artinya setiap tahun ada 21 kepala daerah atau setiap bulan ada dua kepala
daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, atau
terdakwa. Fakta itu membungkam tekat bangsa ini memerangi korupsi. Kenyataan
lain para kepala daerah telah berubah menjadi mesin korupsi. Selama ini pemberantasan
korupsi seperetinya hanya dipusat saja. Dengan kenyataan ini harusnya KPK
sebagai lembaga yang masih dianggap
paling kredibel harus turun ke daerah tingkat II.
Bila melihat banyaknya kepala
daerah yang terjerat kasus korupsi terjadi dalam kurun waktu 2004-2012, di mana
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah berada dalam rezim UU No 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU
No 12/2008, maka kesimpulan sederhananya adalah para kepala daerah yang korupsi
itu lahir dari UU No 32/2004. Mungkin bukan karena undang-undangnya yang salah,
tapi sistem pemilihan kepala daerah yang diatur di dalamnya yang barangkali
menjadi pemicu kepala daerah terpilih “terpaksa” melakukan korupsi.
Bukan rahasia umum lagi biaya
pilsung pemilihan kepala daerah sejak penyewaan partai mencapai miliaran rupiah
. Dan tidak dapat dipungkiri hampir semua proses pemilkuda langsung memenagkan
calon dengan membeli suara pemilih. Belum lagi biaya kampanye yang tinggi
semakin menyeret cost politik yang tinggi.
Tingginya biaya ini membuat
para calon putar otak mengikutkan cukong-cukong dalam pendanaan untuk
memenangkan pertarungan . Maka ketika memenangkan pilkada pertama yang harus
dilakukan pengembalian hutang. Selanjutnya
balas jasa kepada para Timsukses . Ini bukan menjadi tugas mudah dan
untuk menutupi hutang tersebut kepala daerah mencari celah di APBD untuk
mengembalikan biaya itu. Merampok APBD menjadi salah satu cara mudah dalam
mengembalikan hutang saat proses pilkada berlangsung. Hasil akhirnya rakyat
yang harusnya menikmati APBD justru “APBD ditukangi” hanya untuk kepentingan
kepala daerah dan kroni.
Kenyataan ini harusnya menjadi
bahan masukan bagai DPR-RI yang saat ini membahas UU Pemilukada. Sehingga
produk hukum yang bakal ditandatangani itu tidak hanya sekadar munculnya
undang-undang baru namun lebih jauh menjamin anggaran negara dapat dinikmati
rakyat.
173 kepala daerah tersangkut
korupsi bukanlah angka yang kecil . Dugaan kuat justru penyebab para petinggi
kabupaten ini jatuh kejurang korupsi karena sistim pemilukada yang dianggap
belum mapan ditengah masyarakat. Pemilihan langsung untuk kabupaten dan kota
telah melahirkan masalah sosial dimasyarakat kelas bawah yakni timbulnya
sekte-sekte perbedaan. Disisi lain istilah teman dan tidfak teman semakin
membuat masalah sosial di tengah masyrakat meruncing.
Pemilu sistim ini telah
melahirkan pemimpin daerah yang sepertinya
hanya sekelompok orang yang awalnya menjadi timsukses. Sehiungga yang
menikmati pemerintahan dan fasilitas negera justruyang dekat dengan kekuasaan.
Hal ini berlaku hampir disemua daerah tingkat II.
Jumlah 173 kepala daerah bermasalah korupsi ini
harusnya menjadi alat pembanding bagi DPR-RI masihkah layak sistim pilsung
diterapkan di tingkat II?. Faktanya rakyat belum siap pilsung dan banyak juga
kepala daerah yang menang justru tidak siap menjadi kepala daerah. (R.07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar