Rabu, 11 Juni 2014

Persimpangan



            Faris RM dalam syair lagu Persimpangan “ selamat tinggal persimpangan cinta dalam kenangan hampa ini”.  Lagu yang booming era 90-an itu menceritakan kisah cinta dipersimpangan ditinggalkan meski dengan hampa .  Banyak yang menyebutkan Pilpres
9 Juli 2014 adalah sebuah persimpangan antara maju melangkah atau malah kembali ke orde sebelumnya.
            Pekan silam saya menuju Medan untuk sampai di rumah sakit Marta Friska daerah Brayan. Maklum orang kampung masuk kota panas bingung karena jarang petunjuk arah. Maka setiap persimpangan jalan terpaksa bertanya. Sejak masuk selayang saya sudah bertanya kepada orang yang kebetulan duduk di persimpangan. Syukur orang yang saya tanyakan jujur dan saya selamat sampai tujuan.
            Dua pasangan Capres Prabowo dan Jokowi dimata banyak orang merupakan persimpangan. Ada yang bingung menentukan sikap. Diantara yang bingung ada yang mau  bertanya. Banyak juga yang sok tahu dan tidak perlu bertanya lagi.  Tentu mereka yang malas bertanya dan belajar biasanya mengandalkan filing dan chasing  tampilan saja. Ada juga yang sekedar ikut-ikutan  .  Syukur-syukur pilihan tepat dan negeri ini berubah. Sebuah perjudian besar menempatkan arah perjalanan bangsa
            Dipersimpangan sering juga bertemu orang ngaco dan cari kesempatan . Banyak pihak menyebutkan SBY bersikap ragu-ragu. Entah benar atau tidak namun faktanya banyak yang memuji sikap SBY dengan partai demokratnya menyatakan siap menjadi oposisi. Namun selang beberapa  hari muncul lagi 1 Juni Demokrat menentukan sikap . Sebuah sikap meragu ketika menemukan sebuah persimpangan . Maka capres Prabowo dan Hatta menyampaikan visi misi di depan kader partai democrat. Namun langkah itu tidak ditiru pasangan Jokowi-JK.
            Memang politik tidak mempunyai rumus konstan. Semuanya tergantung kepentingan. Maka orang politik saat berada dipersimpangan  biasanya berhitung untung rugi yang menenmpatkan kepentingan pribadi dan golongan. Maka sering kita mendengar istilah karena Platform yang sama maka bergabung. Mungkinkah yang dahulunya di kubu pro pemerintah tiba-tiba merengek bergabung dengan kubu oposisi dengan alas an platform partai yang sama? Sangat tampak kegalauan parpol disebuah persimpangan.
            Banyak kader partai yang bingung maka hampir dapat dipastikan keberadaan partai hanyalah persyaratan mendapat tiket capres. Lihat saja kader Golkar yang terpecah dalam dukungan. Demikian juga kader Demokrat, Hanura, PPP, PKB.  PAN Partai yang masih terlihat solid yakni PDI-P, Gerindra, Nasdem ,PKS, PBB dan PKPI.
            Partai pendukung bukan jaminan memenangkan Capres yang diusung. Sederhana saja Misalkan partai A dengan  Capres A mempunyai Caleg terpilih si B. Sedang si B merogoh kocek setengah mati untuk mendapatkan satu kursi DPRD Daerah . Mungkinkah si B mau  mengeluarkan dana  lagi kepada Capres partainya? Caleg terpilih dan caleg Gagal telah kandas tersedot selama pemilu.
            Sedangkan caleg terpilih dari partai yang ketuanya capres/cawapres sudah ampun. Apakah mungkin Caleg terpilih dari partai pendukung mau mengeluarkan uang kepada  ketua partai orang lain yang kebetulan Capres? Ini fakta betapa partai hanya persyaratan saja. Kader partai hanya bisa bergerak jika dimodali minimal sebesar pengorbanannya yang ditabur kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Parahnya lagi andai dimodali pemilih belum tentu setuju karena pemilih kini melihat vigor Capres. Bukan vigor caleg yang kebetulan mendapat kursi hanya karena money politik . Jadi secara umum berada dipersimpangan. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar