Rabu, 26 Februari 2014

Atur Nur



      Beberapa  tahun silam Seorang unsur muspida yang datang ke Dairi . Sebulan bertugas saya bertamu kepadanya dan aku “ terlena” bagai lagu dangdut dibuatnya. Janji dan komitment  akan tegas terhadap penegakan aturan terutama pemberantasan korupsi
mengalahkan janji seorang Abraham Samad. Namun dalam hatiku berkata “ Alana sabulan dope dah…”
      Entahlah namun sepertinya setiap individu akan berubah menyesuaikan diri dengan jabatan yang diemban. Maka jika belum jadi pejabat terlihat ramah dan bersahaja. Biasanya ketika duduk mulai ada pembatasan. Yah…diaturah. Dan sekarang jelang pemilu muncul istilah “ Huling huling acca…toppu burju aha mai?”…nanti kalau sudah duduk pasti disesuaikan. Minimal tidak se ramah kala butuh. Namun ini bagi kebanyakan orang. Ada juga yang tulus tidak berubah menyesuaikan gaya namun jumlahnya sedikit.
      Ada juga dari lingkungan PNS yang masa susahnya terlihat akrab. Ramah dan teman santai diajak curhat pas banget buat ngopi . Namun saat dewi fortuna menyebelah jabatan ditangan mulai ada pembatasan. Gaya dan style juga dirubah. Gaya bicara di kren-kren kan. Tentu agar disebut kren . Di lini terkecil juga demikian belum kades luar biasa baiknya. Saat duduk mulai menjaga jarak.  Lebih kecil lagi sebelum jadi kepling terlihat baiknya minta ampun. Saat jadi kepling malah merasa raskin milik oppungnya. Jadi intinya semua diatur.
      Tidak banyak seperti Jokowi Gubernur DKI yang bisa menjaga ketulusannya. Saat calon sampai jadi gubernur tetap dengan stylenya. Tipe ini tanpa dikren-krenkan toh sudah kren. Masih lebih banyak orang yang tiba-tiba naik daun langsung lupa diri.
      Secara psykologi orang yang demikian sebenarnya dendam terhadap masa lalu. Tidak pernah dipuji. Karir dan prestasi biasa biasa saja bahkan cenderung karbitan pasti ingin sekali dianggap hebat dan disegani  . Jadi caranya dengan memaksakan gaya semacam diatur  berharap mendapat pengakuan hebat atau jago.
      Entah bagaimana juga tamatan sarjana dari fakultas yang akreditasinya disesuaikan biasanya juga akan bertingkah sedikit memaksa. Cetakkan papan nama lengkap titel sarjananya. Agar anda bijaksana jangan ditanyakan alumnusnya. Nanti kurang enak dalam kombur. Dia tengah menyesuaikan diri dengan gelar baru dari fakultas yang akreditasinya disesuaikan.
      Kisah sejumlah oknum kepala sekolah yang “dikandangkan”sebagai pengawas. Lantas setelah beberapa saat kembali diangkat menjadi kepala sekolah sangat terasa berbeda gaya dan style nya. Saat jatuh jadi pengawas terlihat baik dan berpikiran obyektif. Diangkat kembali jadi kepala sekolah berubah dan pola pikir konsumtif (Sesuai kebutuhan pimpinan). Jika dahulu kritis dan sanggup katakan yang benar setelah jadi kepsek diam bagai kucing kekenyangan habis makan ikan curian . Jadi disesuaikanlah dengan jabatan yang diemban. Orang batak bilang “mangalang Sasagun harus diam, Molo makkatai mambirsakan” Maklum yang dimakan juga sejenis ampas.
                Jadi pembelajaran berharga dari yang miring kali ini sangat sederhana yakni pantai-pandai saja menghadapi mereka yang cari muka.  Sungguh persahabatan dan keakraban ditentukan oleh jabatan saja. Jika sama sama menderita pasti nyambung. Namun kala sahabat sudah naik jangan berharap bisa seperti sedia kala. Maka wajar rakyat betrtindak tegas ketika memang dibutuhkan silahkan saja jual mahal. Libas bila perlu Karena nanti saat duduk juga bakal  dilupakan. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar