Suatu sore di medio januari sebuah lagu batak judul “
Poda” yang dinyanyikan Viktor Hutabarat
mengispirasiku akan rublik yang miring edisi ini. Sekretaris di kantorku
membunyikan lagu sendu
sayup “ angur do goar mi anakkon hu songon bunga-bunga
i..mola marparange na denggan do ho di luat na dao i. Ingkon benget do ho marroha jalan pantun maradoppon
natua tua. Ai ido arta na um marga i..di ngolu mi” saya menggaris bawahi
parange na denggan dan benget mar roha ai ido arta na um marga i. Betapa orang
tua berharap anaknya rendah hati tidak sesumbar, arogan dan pantang so bilak.
Aku yakin orang tua manapun tidak pernah mengajari anaknya
untuk berkata “ babiat pe hulakkai” dan satu lagi orang tua mana juga pasti
berpesan agar jangan sekali sekali anaknya merasa selayaknya matahari. Boleh jadi kisah hercules bertarung
melawan harimau dan harimau kalah. Namun belum pernah ada kisah manusia sampai
ke matahari. Jadi jika ada orang
sesumbar berkata setebal apa juga embun yakinlah matahari akan menembusnya
adalah sebuah kalimat arogan, berlebihan dan sesumbar. Kesombongan yang
menyengat hingga memposisikan diri layaknya matahari. Sungguh sebuah kalimat
tendensius mengecilkan semua orang. Sungguh bukan manusia batak yang Serep
Marroha. Tetapi saya mendukung dan
berdoa dia bisa sampai di matahari lantas
terpanggang disana tanpa kuburan.
Mengikuti progres mentalitasnya yang makin lama makin buruk ada
rasa kasihan yang mendalam. Anda tahu jika orang besar kasihan kepada orang
kecil itu hal biasa. Namun ini yang luar
biasa dan pantas dicermati ketika orang
kecil sangat kasihan melihat orang besar . Bayangkan dahulu berkata harimau
bisa dilangkahi kini merasa diri matahari hingga mengganggap embun tidak akan
bisa menghalangi .
Saya teringat kisah seorang pejabat Pakpak Bharat yang sangat
percaya diri merasa bisa mengatur semua. Meski tersandung korupsi masih arogan
dan lantang bicara. Saat dijemput paksa
Jaksa dari rumah akhirnya “mukung”.. Aku hanya berdoa dalam waktu dekat
akan ada pejabat eselon II dari Dairi
juga akan ikut menyusulnya menginap di hotel Rimo bunga. Pejabat ini adalah
wasit kotor dulu saat pertandingan hercules dan Harimau berlangsung. Wasit
kotor wajarlah di mangsa harimau . Bagaimanapun juga meski harimau kalah tetapi
dia tetap pemakan daging.
Aku hanya ingin berkata desember 2012 silam di Dairi pernah
dalam tiga hari berturut-turut tak sedikitpun sinar matahari bisa menembus
embun. Kala itu mendung hitam bergelayut. Sesungguhnya kelembutan embun bisa
menjadi malapetaka ketika dia menebal dan menghitam. Tidak percaya? Mumpung
masih segar lihat saja langit Bogor yang
kini penuh dengan embun. Dan karena benda lembut ini juga jakarta babak
belur bahkan sampai menelan korban jiwa. Matahari tidak bisa berbuat apa.
Mengangkat diri layaknya matahari sah-sah saja . Menganggap orang lain lemah kecil dan tak
berdaya juga sah-sah saja. Namun juga tidak bisa dilarang kalau orang menilai
model begini hanya sekelas manusia lemah
yang bersembunyi dibalik permainan lidah. Karena sesungguhnya hidup bukan hanya
sebatas jabatan, harta dan pangkat. Hidup yang sesungguhnya adalah ketika nama
tercatat harum semasa hidup apalagi setelah mati.
Jadi jika ada manusia masih berpikir sebatas jabatan, pangkat
dan harta hingga berlaku arogan dan lupa diri lantas menghalalkan segala cara
maka yakinlah yang diwariskan kelak hanya bau busuk yang sepanjang masa lengket
di hidung para keturunannya. Tak percaya silahkan mencoba ….he..he.. (Chief Of
Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar