Rabu, 27 Juni 2012

Okelah Kalau Begitu
      Pekan silam aku menuju kabupaten Humbang Hasudutan. Dari fakta yang kuterima Kabupaten yang berusia 9 tahun ini mendapat Penghargaan Pengelolaan  keuangan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Ini merupakan  penghargaan kelas dua yang hanya hitungan jari daerah di Indonesia ini menerima. Lantas saya fikirkan Dairi yang biasanya hanya WDP (Wajar Dengan pengecualian).
Dalam hatiku berkata okelah kalau begitu.
      Plt Sekda Humbahas Tonny Sihombing menyebut sampai ke desa-desa di Humbahas aspal sudah hotmix. Di daerah baru ini terjdi peningkatan kwalitas lapen menjadi hotmix. Lantas ku ingat Dairi dimana ke desa berubah dari lapen menjadi kubangan kerbau. Jalan yang berada di kota  dahulunya hotmix kini menjadi lapen. Dalam hatiku berkata oke lah kalau begitu. Mungkin karena inilah daerah kita kerap disebut Sidikalang nabalau.
      Ucapan okelah kalau begitu semakin sering ku ucapkan dalam hati apalagi saat mendengar di Humbahas seorang pejabat eselon yang akan diangkat dilakukan dengan presentasi di depan bupati, staf ahli dan baperjakatnya atas rencana jika dipercayakan menjabat. Rencana tidak masuk akal langsung terbuang. Sebaliknya PNS yang memang berkwalitas bangkit.  Sementara kalau di Dairi sistem rekrutment entah apa yang terjadi hingga pejabatnya semakin tidak ku mengerti. Aku khawatir justru sistim rekrutnya pertanyaan pertama Orang kita?  Sudah tiga tahun pilkada masih muncul istilah itu. Sekali lagi okelah kalau begitu.
      Ku temukan juga fakta yang menyebut Humbahas malah tidak mau menerima program CD dari TPL sebesar Rp. 3,8 Miliar jika bukan  prosedur. Kabupaten ini ingin taat peraturan sumbangan pihak ke tiga harus masuk APBD dan tidak boleh tidak dibahas di DPRD  Nah di Dairi jangankan sumbangan pihak ke tiga dana bencana alam saja tidak dibahas di dewan. Program CD TPL yang hanya 400-an juta saja langsung disambar entah bagaimana distribusinya tidak jelas.. Okelah kalau begitu.
      Terlalu banyak perbedaan kabupaten muda ini dengan Dairi yang sudah berusia 60-an tahun. Padahal di Humbang pengambil kebijakan umumnya berasal dari Dairi. Suatu fakta yang menyedihkan sekaligus melahirkan tanda tanya ada apa dengan Dairi sekarang? Apakah sakit perut atau lagi sakit kepala? Saya khawatir saja dua penyakit itu sekaligus menyerang .Paling ku takutkan lagi meski dah kronis malah obat yang diberikan  handyplas.
      Entahlah kekhawatiran banyak orang  Otonomi daerah akan  melahirkan raja-raja kecil agaknya sudah mulai terbukti. Korupsi kebijakan menjadikan praktik korupsi di masa reformasi lebih parah jika dibandingkan dengan di masa Orde Baru. Jika orde lama korupsi dibawah meja. Orde Baru korupsi diatas meja dan orde sekarang mejapun dikorupsikan. Semua akibat pilkadasung yang memicu korupsi akibat tingginya cost politik. Dan itu khusus bagi penguasa yang bermental korup. Beda mungkin dengan Humbahas yang pemerintahannya masih relatif jujur kepada rakyatnya. Okelah kalau begitu.
      Membandingkan keduanya mungkin akan melahirkan sakit hati. Namun itu lebih baik daripada mendiamkan . Bukankah perbandingan sangat penting dalam memutuskan satu masalah? Namun demikian moral pejabatnya menjadi penentu sebuah daerah maju atau mundur. Meski harus jujur diakui jaman bisa berubah, nama bisa berubah  namun mentalitas penguasa jugalah penentunya.
      Era reformasi sudah menjadi mahal karena ketika salah pilih maka rakyat akan menderita minimal lima tahun sedang jika ingin menjerit dan protes juga tidak berdaya. Paling mengatakan  oh nange..ncio nei………okelah kalau begitu. (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar