Kamis, 25 Oktober 2012

Penjilat


     Titik aman dambaan banyak orang. Meski terkadang karena mengutamakan titik aman kerap memaksa  orang berubah bahkan jadi penjilat. Rublik Yang miring kali ini penulis
ingin mengangkat cerita humor dari dataran Tapanuli. Cerita ini dicampur dalam bahasa daerah. Agar terlihat seru. He..he…
      Suatu ketika si Posma  anak di Batang Beruh pulang ke rumah dengan wajah memerah. Baru sae martubbuk alai monang do nian. Tidak berapa lama datang sekelompok orang bapak-bapak yang tergabung dalam Serikat Tolong Menolong (STM) lingkungan  rumah poltak . Ayah Posma keluar dan mendapat cerita kalau Posma baru duel. Tak lama sang ayah marah besar dan memanggil posma.
      Martubbuk ho inna? Anak ni ise na digosami? Duduk…Sebut ayah Posma dengan marah. Salah satu anggota STM menyebut “ ai monang do anakta on hubereng. I kipas do puang. Hape sei balga alo nai” sang ayah dengan sedikit bangga senyum “ ai main do kedanta on”. Sebutnya. Tak lama satu orang lagi menimpali “ ai manat  anak ni tentara do hu boto na dibalbal nai “ langsung ayah Posma marah “ Binatang…so iboto ho alom. Marhua alo on mu i..” sebutnya dengan marah menampar Posma.
      Tak lama kemudian satu orang menimpali “ alai ngamate be bapak nai…” langsung ayah posma berubah  . “ ai pittor dege main-main tu ho…Uang olo ho di tokko. Balga pe alomi naung hebat do ho disi” sebut Ayah Posma berbalik memuji. Lantas satu orang anggota STM menerangkan “ alai adong dope abang ni bayon angkatan laut da…. Langsung ayah posma berang” Ai si te on do . Sude do aloon ni on. Lombu… holan na mambaen susa do ho bodat” sebutnya . sekali lagi kepala posma dikepret sang ayah.
      “ Alai las mate do ninna abang nai ate waktu tugas tu Tim tim” sebut salah seorang lagi dari anggota STM.  Kembali ayah yang tidak jelas pendirian ini berbalik “ Pa barani-baranihon I tu hita. Dang hea dope bapa talu tu ise pe. Ho pe ikkon jago do. Ingkon bangga bapa baen da. “ ujar sang ayah dengan bangga.
      Dalam sebuah pemilihan mulai dari pilkades, pilkada hingga pilgub akan muncul strategi membaca situasi. Jika melihat seorang calon lemah langsung dihakimi dengan memburuk-burukkannya. Bahkan ikut menghabisi. Namun jika dilihat berubah dukungan semakin banyak tanpa pikir panjang langsung berbalik memuji melebih-lebihkan calon. “ Ai nga huparnipihon calon on…manjangkit di hau…sahat diujung daba” sebutnya untuk pembenaran. Namun jika dukungan melamah pasti katakan “ ai so diboto I mago na. sitipul ihur i….ehe bursik ma I “ komen masyarakat yang tidak punya pendirian.  
      Pilkada DKI telah menceritakan betapa seorang Jokowi awalnya dianggap calon paling lemah, kampungan ,miskin dan tidak keren . Diawalnya banyak yang menghina dan dipandang hanya sebelah mata. Pokoknya kalau ini di Tapanuli songon ma hatana “ ai sitan ni bayon do calon. Leak ni bayonpe so suman. Bereng jo bohi nai..ehe…si tapus On.”  Saat mulai populer dan memenangkan putaran pertama muncul bahasa lain “ ai memang ikkon imana do..jujur kan….ai anggo bohi do so jaminan i. roha nai ma daba. Merakyatkan…lomo roha “ sebutnya  berbalik.
      He..he…he..sesungguhnya saya ingin mengatakan kebayakan orang mengambil kesimpulan karena situasi. Maka benar pepatah batak “ Molo talu marjuji sude mandok si Te. Alai molo monang marjuji sude mandok Lae” . Sesungguhnya itulah manusia.
                Sedikit saya ceritakan seoarang oknum mengaku tokoh masyarakat ketika MP Tumanggor maju calon bupati dahulu langsung di teror oknum tokoh ini. Kemana-mana tetap propaganda memburuk-burukkan. Saat MP Tumanggor menang kulihat oknum inilah yang pertama menggelar tikar di posko MP Tumanggor dan dengan wajah senyum menyambut dengan ucapan “ nga hu parnipihon on”. He..he…he…Portibi Na mangilas atau dalam bahasa Indianya dunia kahe ..(Chief Of editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar