Titik aman dambaan banyak orang. Meski terkadang karena
mengutamakan titik aman kerap memaksa
orang berubah bahkan jadi penjilat. Rublik Yang miring kali ini penulis
ingin mengangkat cerita humor dari dataran Tapanuli. Cerita ini dicampur dalam
bahasa daerah. Agar terlihat seru. He..he…
Suatu ketika si Posma
anak di Batang Beruh pulang ke rumah dengan wajah memerah. Baru sae
martubbuk alai monang do nian. Tidak berapa lama datang sekelompok orang
bapak-bapak yang tergabung dalam Serikat Tolong Menolong (STM) lingkungan rumah poltak . Ayah Posma keluar dan mendapat
cerita kalau Posma baru duel. Tak lama sang ayah marah besar dan memanggil
posma.
Martubbuk ho inna? Anak ni ise na digosami? Duduk…Sebut ayah
Posma dengan marah. Salah satu anggota STM menyebut “ ai monang do anakta on
hubereng. I kipas do puang. Hape sei balga alo nai” sang ayah dengan sedikit
bangga senyum “ ai main do kedanta on”. Sebutnya. Tak lama satu orang lagi
menimpali “ ai manat anak ni tentara do
hu boto na dibalbal nai “ langsung ayah Posma marah “ Binatang…so iboto ho
alom. Marhua alo on mu i..” sebutnya dengan marah menampar Posma.
Tak lama kemudian satu orang menimpali “ alai ngamate be bapak
nai…” langsung ayah posma berubah . “ ai
pittor dege main-main tu ho…Uang olo ho di tokko. Balga pe alomi naung hebat do
ho disi” sebut Ayah Posma berbalik memuji. Lantas satu orang anggota STM
menerangkan “ alai adong dope abang ni bayon angkatan laut da…. Langsung ayah
posma berang” Ai si te on do . Sude do aloon ni on. Lombu… holan na mambaen
susa do ho bodat” sebutnya . sekali lagi kepala posma dikepret sang ayah.
“ Alai las mate do ninna abang nai ate waktu tugas tu Tim tim”
sebut salah seorang lagi dari anggota STM.
Kembali ayah yang tidak jelas pendirian ini berbalik “ Pa
barani-baranihon I tu hita. Dang hea dope bapa talu tu ise pe. Ho pe ikkon jago
do. Ingkon bangga bapa baen da. “ ujar sang ayah dengan bangga.
Dalam sebuah pemilihan mulai dari pilkades, pilkada hingga
pilgub akan muncul strategi membaca situasi. Jika melihat seorang calon lemah
langsung dihakimi dengan memburuk-burukkannya. Bahkan ikut menghabisi. Namun
jika dilihat berubah dukungan semakin banyak tanpa pikir panjang langsung
berbalik memuji melebih-lebihkan calon. “ Ai nga huparnipihon calon
on…manjangkit di hau…sahat diujung daba” sebutnya untuk pembenaran. Namun jika
dukungan melamah pasti katakan “ ai so diboto I mago na. sitipul ihur i….ehe
bursik ma I “ komen masyarakat yang tidak punya pendirian.
Pilkada DKI telah menceritakan betapa seorang Jokowi awalnya
dianggap calon paling lemah, kampungan ,miskin dan tidak keren . Diawalnya
banyak yang menghina dan dipandang hanya sebelah mata. Pokoknya kalau ini di
Tapanuli songon ma hatana “ ai sitan ni bayon do calon. Leak ni bayonpe so
suman. Bereng jo bohi nai..ehe…si tapus On.”
Saat mulai populer dan memenangkan putaran pertama muncul bahasa lain “
ai memang ikkon imana do..jujur kan….ai anggo bohi do so jaminan i. roha nai ma
daba. Merakyatkan…lomo roha “ sebutnya
berbalik.
He..he…he..sesungguhnya saya ingin mengatakan kebayakan orang
mengambil kesimpulan karena situasi. Maka benar pepatah batak “ Molo talu
marjuji sude mandok si Te. Alai molo monang marjuji sude mandok Lae” .
Sesungguhnya itulah manusia.
Sedikit
saya ceritakan seoarang oknum mengaku tokoh masyarakat ketika MP Tumanggor maju
calon bupati dahulu langsung di teror oknum tokoh ini. Kemana-mana tetap
propaganda memburuk-burukkan. Saat MP Tumanggor menang kulihat oknum inilah
yang pertama menggelar tikar di posko MP Tumanggor dan dengan wajah senyum
menyambut dengan ucapan “ nga hu parnipihon on”. He..he…he…Portibi Na mangilas
atau dalam bahasa Indianya dunia kahe ..(Chief Of editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar