Kamis, 02 Agustus 2012


Mobilisasi Warna
Awal Ramadhan 1433 H aku terkejut menerima jadwal imsakiyah Ramadhan berwarna …... yang bagi mataku warna yang satu ini tidak aneh dan sudah ku anggap sebagai salah satu praktek mobilisasi warna . Aku hanya sedih saja merenung  apakah agama juga sudah mulai di politisasi ? Biasanya yang ku dapat berwarna netral putih atau
warna khas muslim hijau. Dalam hatiku berkata ini kelanjutan mobilisasi warna seperti yang sudah terpraktekkan selama ini.
Saya pernah membaca salah satu media kejadiannya di tanjung balai dimana salah seorang oknum kepala sekolah mencat sekolah seluruhnya berwarna biru. Itu aneh menurut kewajaran  hingga menjadi sorotan dan disebutkan identik dengan salah satu partai. Namun di Dairi yang terjadi ramai-ramai  sekolah merombak warna dasar putih menjadi satu warna  yang merupakan warna kebanggan salah satu partai. Mudah memang untuk mengelabuinya cukup  mudah  kepsek hanya berkata tidak ada hubungannya dengan partai. Kepsek akan mudah menjawab itu meski dalam hatinya berkata “ Lebih baik ganti warna untuk menyenangkan penguasa daripada dimutasi hanya karena tidak mengerti selera penguasa”.
Di baju seragam olah raga  PNS juga warna itu muncul. Saya yakin sekali ini bagian dari mobilisasi politik dengan sosialisasi warna. Bagiku ini aneh sekaligus melucukan dan hanya sebatas gaya zaman dulu yag sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ku sebut ketinggalan zaman karena rakyat kini menilai dari jenis mesinnya dan bukan pada casingnya. Ibarat handphone casing bisa black berry namun mesin buatan ajo sukarame.
Fakta ini membuktikan pencetusnya kekeringan  ide untuk merebut hati rakyat. Sesungguhnya pencetusnya  tidak punya SDM dan inovasi baru untuk menunjukkan prestasi dan karya nyata . Hingga melakukan gaya zadul  di era yang telah jauh berbeda. Tentu yang lahir kesan muak, jijik dan amit-amit .  Sesungguhnya aku khawatir kelanjutan  mobilisasi warna ini  maka PNS diwajibkan perkakas dalamnya juga harus berwana sesuai selera pencetusnya. Tapi ini sulit terbuktikan karena sekali berani memeriksanya  maka terkena pasal pelecehan.
Perlakuan serupa juga terjadi dibeberapa daerah jadi tergantung siapa penguasa daerah itu. Tidak dapat dipungkiri itu hanya teknik untuk sosialisasi warna yang diharapkan dapat menguntungkan salah satu kelompok. Memang harus diakui  rakyat di negeri ini masih mudah percaya. Sebahagian rakyat terlalu mudah untuk dibodoh-bodohi. Hingga ketika sebuah warna tersosialisasi  maka seakan-akan satu daerah hanya milik satu golongan. Warna lain dilarang untuk  hidup dan berkibar. Dan itu akan semakin parah kalau kepala daerahnya picik, sekolahnya tidak jelas dan sukla dengan ABS.
Meski jenis mobilisasi seperti ini  tidak diperdulikan namun bukan tidak mungkin justru adanya unsur pemaksaan didalamnya dapat berakibat menghancurkan warna itu sendiri. Masyarakat yang mempunyai kesadaran dan kebebasan boleh jadi membrontak dalam hati.
Karena sesungguhnya seorang penguasa di alam demokrasi adalah milik semua warna dan bukan hanya milik satu warna. Ketika  dipaksakan satu warna  maka yang akan lahir rasa benci kecewa bahkan sumpah serapah. Jadi aku hanya ingin mengatakan terserah untuk melakukan pemaksaan dan mobilisasi besar-besaran karena toh pada akhirnya alam juga yang akan menseleksi. Hingga kini tak satupun manusia dengan segala kehebatannya mampu melawan alam.
Saya juga tidak melarang adanya sistim mobilisasi yang dipaksakan bahkan aku bersyukur karena masyarakat akan memberikan penilaiannya masing-masing. Masyarakat diuji nyalinya apakah masih suka penjajahan atau memang sangat menghargai kebebasan ( Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar