Mobilisasi
Warna
Awal Ramadhan 1433 H aku
terkejut menerima jadwal imsakiyah Ramadhan berwarna …... yang bagi mataku
warna yang satu ini tidak aneh dan sudah ku anggap sebagai salah satu praktek
mobilisasi warna . Aku hanya sedih saja merenung apakah agama juga sudah mulai di politisasi ?
Biasanya yang ku dapat berwarna netral putih atau
warna khas muslim hijau.
Dalam hatiku berkata ini kelanjutan mobilisasi warna seperti yang sudah
terpraktekkan selama ini.
Saya pernah membaca salah satu
media kejadiannya di tanjung balai dimana salah seorang oknum kepala sekolah
mencat sekolah seluruhnya berwarna biru. Itu aneh menurut kewajaran hingga menjadi sorotan dan disebutkan identik
dengan salah satu partai. Namun di Dairi yang terjadi ramai-ramai sekolah merombak warna dasar putih menjadi
satu warna yang merupakan warna kebanggan
salah satu partai. Mudah memang untuk mengelabuinya cukup mudah
kepsek hanya berkata tidak ada hubungannya dengan partai. Kepsek akan
mudah menjawab itu meski dalam hatinya berkata “ Lebih baik ganti warna untuk
menyenangkan penguasa daripada dimutasi hanya karena tidak mengerti selera
penguasa”.
Di baju seragam olah raga PNS juga warna itu muncul. Saya yakin sekali
ini bagian dari mobilisasi politik dengan sosialisasi warna. Bagiku ini aneh
sekaligus melucukan dan hanya sebatas gaya zaman dulu yag sebenarnya sudah
ketinggalan zaman. Ku sebut ketinggalan zaman karena rakyat kini menilai dari
jenis mesinnya dan bukan pada casingnya. Ibarat handphone casing bisa black
berry namun mesin buatan ajo sukarame.
Fakta ini membuktikan
pencetusnya kekeringan ide untuk merebut
hati rakyat. Sesungguhnya pencetusnya
tidak punya SDM dan inovasi baru untuk menunjukkan prestasi dan karya
nyata . Hingga melakukan gaya zadul di
era yang telah jauh berbeda. Tentu yang lahir kesan muak, jijik dan amit-amit
. Sesungguhnya aku khawatir
kelanjutan mobilisasi warna ini maka PNS diwajibkan perkakas dalamnya juga
harus berwana sesuai selera pencetusnya. Tapi ini sulit terbuktikan karena
sekali berani memeriksanya maka terkena
pasal pelecehan.
Perlakuan serupa juga terjadi
dibeberapa daerah jadi tergantung siapa penguasa daerah itu. Tidak dapat dipungkiri
itu hanya teknik untuk sosialisasi warna yang diharapkan dapat menguntungkan
salah satu kelompok. Memang harus diakui
rakyat di negeri ini masih mudah percaya. Sebahagian rakyat terlalu
mudah untuk dibodoh-bodohi. Hingga ketika sebuah warna tersosialisasi maka seakan-akan satu daerah hanya milik satu
golongan. Warna lain dilarang untuk
hidup dan berkibar. Dan itu akan semakin parah kalau kepala daerahnya
picik, sekolahnya tidak jelas dan sukla dengan ABS.
Meski jenis mobilisasi seperti
ini tidak diperdulikan namun bukan tidak
mungkin justru adanya unsur pemaksaan didalamnya dapat berakibat menghancurkan
warna itu sendiri. Masyarakat yang mempunyai kesadaran dan kebebasan boleh jadi
membrontak dalam hati.
Karena sesungguhnya seorang
penguasa di alam demokrasi adalah milik semua warna dan bukan hanya milik satu
warna. Ketika dipaksakan satu warna maka yang akan lahir rasa benci kecewa bahkan
sumpah serapah. Jadi aku hanya ingin mengatakan terserah untuk melakukan
pemaksaan dan mobilisasi besar-besaran karena toh pada akhirnya alam juga yang
akan menseleksi. Hingga kini tak satupun manusia dengan segala kehebatannya
mampu melawan alam.
Saya juga tidak melarang
adanya sistim mobilisasi yang dipaksakan bahkan aku bersyukur karena masyarakat
akan memberikan penilaiannya masing-masing. Masyarakat diuji nyalinya apakah
masih suka penjajahan atau memang sangat menghargai kebebasan ( Chief Of
Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar