Rabu, 04 Juni 2014

Kulit



Teman Saya Sekjend Relawan Jokowi Dairi Almisbat (Aliansi Masyarakat Indonesia Hebat) Lilik Parlianto menyebutkan dahulu jelang pilpres bermunculan istilah Ratu adil Justru yang muncul Ratu Atut. Ada  istilah Satria Piningit namun yang muncul satria
bergitar. Semua istilah yang dipopulerkan justru yang muncul kebalikannya.  Bagi teman saya ini tampaknya istilah dan predikat yang dipopulerkan dianggap  hanya “ dagelan “ yang dilontar suka-suka.
Bagi saya melihat tingkah salah seorang politikus nasional sangat memuakkan. Kulitnya berubah-ubah bagai bunglon. Mengemis dengan mengemasnya dalam kata manuver.  Tidak ada warna dan tidak ada pendirian. Pendiriannya hanya satu ingin di kubu yang menang. Persis pedagang yang piawai tawar menawar harga. Layakkah  orang yang tidak punya pendirian mendapat kepercayaan? Atau hanya ilmu bunglon pura-pura baik dan mendukung. Kala dapat kursi di kapal perlahan-lahan membor kapal agar bocor?
Saya melihat ada yang salah kaprah dipemahaman sejumlah ketua parpol di negeri ini. Persentasi perolehan suara pemilu yang nota bene oleh rakyat dianggap menjadi haknya. Bermodalkan itu bernegosiasi dengan Capres. Sangat tidak ada garansi rakyat yang misalnya memilih partai A dalam pemilu lantas otomatis memilih capres Partai A itu dalam pilpres. Maka koalisi parpol sebenarnya hanya kulit. Sebatas syarat memajukan capres. Bayangkan saja menjual kulit berharap kekuasan. Sedemikian sadis sesungguhnya politik menjual rakyat..
Banyak yang menjadi catatan untuk hiruk pikuk pilpres 2014. Win-HT tinggal kenangan. Aburizal Bakrie yang  telah lama mendengungkan Capres akhirnya kandas . Rhoma Irama yang kadung percaya  isu Rhoma Effect  kesal karena gagal diusung PKB.  Surya Dharma Ali  Harus kandas bersaing dengan Hatta Rajasa un tuk kursi calon wakil. Namun saya salut dengan Demokrat yang memilih tidak memihak kubu manapun pasca konvensi capresnya yang tidak mampu menaikkan elektabilitas. Ketua Dewan Penasehatnya SBY juga jujur mengakui kalau kepercayaan rakyat  kepada democrat tergerus karena Korupsi. Sebuah pengakuan jujur yang tidak semua ketua Parpol mampu melakukannya. Ketika banyak ketua parpol mencari kambing hitam SBY malah  jujur mengakui kelemahan.
Ada yang pantas ditelaah mungkinkah minyak bisa bersatu dengan air? Atau mungkinkah dua visi dan misi yang berbeda tiba-tiba bisa sama untuk satu tujuan? Sangat jarang karena satu diantaranya pasti berlaku sebagai bunglon untuk menyelamatkan diri saja. Bunglon sanggup merubah warna kulit ketika terancam hingga sulit untuk dikenali. Ingat bunglon punya senjata gigi yang beracun meski jarang menyerang.
Satu lagi yang pantas ditelaah yakni sering terjadi seorang vigur  yang kita kagumi menjadi kita benci karena orang-orang disekelilingnya. Maka lihat saja karena Tim Sukses yang dibenci rakyat akhirnya cabup, cagub bahkan capresnya dibenci. Maka berhati-hati memilih teman yang tidak punya warna. Tetap was was memilih sahabat  jika tidak ingin terkena imbasnya. Karena mereka yang berteman dengan kambing itu minimal bau kambing . Atau bahkan lebih ektrim benar-benar jadi bandot.
Bagi saya yang hanya penulis kecil di kota kecil ini hanya tersenyum saja melihat tingkah mereka-mereka yang pamer kulit kepalsuan. Rasanya hiruk pikuk pilpres bagi saya sama saja dengan hiruk pikuk pilkada. Ada yang menjadi bunglon hanya karena jabatan. Ada yang menjadi orang lain karena takut di mutasi. Ada yang jadi bunglon demi jabatan kepala sekolah dan kepala lingkungan. Membenarkan tindakan yang salah dengan mengemas istilah loyalitas.
Lantas pertanyaannya mungkinkah Negara ini maju ketika masih mengakui oknum-oknum yang suka menjadi bunglon?. Mungkinkah Negara atau daerah  ini disegani dan maju ketika mental-mental didalamnya hanya jualan bermodalkan kulit? (Chief Of Editor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar