Teman Saya Sekjend Relawan Jokowi Dairi
Almisbat (Aliansi Masyarakat Indonesia Hebat) Lilik Parlianto menyebutkan
dahulu jelang pilpres bermunculan istilah Ratu adil Justru yang muncul Ratu
Atut. Ada istilah Satria Piningit namun
yang muncul satria
bergitar. Semua istilah yang dipopulerkan justru yang muncul
kebalikannya. Bagi teman saya ini
tampaknya istilah dan predikat yang dipopulerkan dianggap hanya “ dagelan “ yang dilontar suka-suka.
Bagi saya melihat tingkah salah seorang
politikus nasional sangat memuakkan. Kulitnya berubah-ubah bagai bunglon.
Mengemis dengan mengemasnya dalam kata manuver.
Tidak ada warna dan tidak ada pendirian. Pendiriannya hanya satu ingin
di kubu yang menang. Persis pedagang yang piawai tawar menawar harga. Layakkah orang yang tidak punya pendirian mendapat
kepercayaan? Atau hanya ilmu bunglon pura-pura baik dan mendukung. Kala dapat
kursi di kapal perlahan-lahan membor kapal agar bocor?
Saya melihat ada yang salah kaprah
dipemahaman sejumlah ketua parpol di negeri ini. Persentasi perolehan suara
pemilu yang nota bene oleh rakyat dianggap menjadi haknya. Bermodalkan itu
bernegosiasi dengan Capres. Sangat tidak ada garansi rakyat yang misalnya
memilih partai A dalam pemilu lantas otomatis memilih capres Partai A itu dalam
pilpres. Maka koalisi parpol sebenarnya hanya kulit. Sebatas syarat memajukan
capres. Bayangkan saja menjual kulit berharap kekuasan. Sedemikian sadis
sesungguhnya politik menjual rakyat..
Banyak yang menjadi catatan untuk hiruk
pikuk pilpres 2014. Win-HT tinggal kenangan. Aburizal Bakrie yang telah lama mendengungkan Capres akhirnya
kandas . Rhoma Irama yang kadung percaya
isu Rhoma Effect kesal karena
gagal diusung PKB. Surya Dharma Ali Harus kandas bersaing dengan Hatta Rajasa un
tuk kursi calon wakil. Namun saya salut dengan Demokrat yang memilih tidak
memihak kubu manapun pasca konvensi capresnya yang tidak mampu menaikkan
elektabilitas. Ketua Dewan Penasehatnya SBY juga jujur mengakui kalau
kepercayaan rakyat kepada democrat
tergerus karena Korupsi. Sebuah pengakuan jujur yang tidak semua ketua Parpol
mampu melakukannya. Ketika banyak ketua parpol mencari kambing hitam SBY
malah jujur mengakui kelemahan.
Ada yang pantas ditelaah mungkinkah
minyak bisa bersatu dengan air? Atau mungkinkah dua visi dan misi yang berbeda
tiba-tiba bisa sama untuk satu tujuan? Sangat jarang karena satu diantaranya
pasti berlaku sebagai bunglon untuk menyelamatkan diri saja. Bunglon sanggup
merubah warna kulit ketika terancam hingga sulit untuk dikenali. Ingat bunglon
punya senjata gigi yang beracun meski jarang menyerang.
Satu lagi yang pantas ditelaah yakni
sering terjadi seorang vigur yang kita
kagumi menjadi kita benci karena orang-orang disekelilingnya. Maka lihat saja
karena Tim Sukses yang dibenci rakyat akhirnya cabup, cagub bahkan capresnya
dibenci. Maka berhati-hati memilih teman yang tidak punya warna. Tetap was was
memilih sahabat jika tidak ingin terkena
imbasnya. Karena mereka yang berteman dengan kambing itu minimal bau kambing .
Atau bahkan lebih ektrim benar-benar jadi bandot.
Bagi saya yang hanya penulis kecil di
kota kecil ini hanya tersenyum saja melihat tingkah mereka-mereka yang pamer
kulit kepalsuan. Rasanya hiruk pikuk pilpres bagi saya sama saja dengan hiruk
pikuk pilkada. Ada yang menjadi bunglon hanya karena jabatan. Ada yang menjadi
orang lain karena takut di mutasi. Ada yang jadi bunglon demi jabatan kepala
sekolah dan kepala lingkungan. Membenarkan tindakan yang salah dengan mengemas
istilah loyalitas.
Lantas pertanyaannya mungkinkah Negara
ini maju ketika masih mengakui oknum-oknum yang suka menjadi bunglon?.
Mungkinkah Negara atau daerah ini
disegani dan maju ketika mental-mental didalamnya hanya jualan bermodalkan
kulit? (Chief Of Editor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar