Sidikalang-Dairi Pers : Pasca Otonomi daerah kepala daerah incumbent (petahana) sepertinya begitu mudah untuk memenangkan kembali pilkada. Bahkan karena mudahnya oknum kepala daerah mengobral syahwat kekuasan maju kembali untuk tiga periode sebagai wakil kepala daerah. Tidak ada garansi menyebut incumbent yang kembali
memenangkan pilkada murni karena mayoritas rakyat memilihnya. Namun perangkat hukum, kekuasaan, peraturan cenderung menguntungkan incumbent. Disisi lain oknum penyelenggara pilkada KPU dan aparat keamanan yang seharusnya netral masih sebatas tiori tanpa garansi. Celah kenakalan menjadi senjata pamungkas incumbent kembali memenangkan pilkada. Kemenangan sejati karena sportifitas bukanlah kebanggaan lagi bagi incumbent tertutup oleh ambisi nikmatnya menjadi raja kecil diera otonom yang kebablasan.
Syafran
Sofyan, SH, M Hum tenaga propesional bidang politik Lemhanas RI membuat peta
celah kenakalan yang dapat digunakan untuk kembali mepertahankan status
kekuasan. Bermula dari Daftar Pemilih tidak akurat; a. Sebagian besar DP4 dari
Kab/Kota tidak dapat diandalkan b. Calon pemilih banyak yang
memiliki domisili lebih dari satu tempat c. Calon pemilih dan
Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS d. Pelibatan RT/RW
dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal e. Para pihak
baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai
daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara f. Kontrol Panwaslu untuk
akurasi data pemilih tidak maksimal.
Persoalan kedua yakni Proses pencalonan yang bermasalah
a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang
sama. c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan
calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak
kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang
sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih
lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
Permasalah ke tiga Yakni . Pemasalahan pada Masa kampanye
: a. Pelanggaran ketentuan masa cuti b. Manuver politik
incumbent untuk menjegal lawan politik
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk
memenangkan PILKADA d.
Money politics e. Pemanfaatan fasilitas negara dan
pemobilisasian birokrasi f.
Kampanye negative g.
Pelanggaran etika dalam kampanye
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan
kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
Permasalah ke 4 yakni. Manipulasi dalam
penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan: a.
Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan
rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi
penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi. c. Belum lengkapnya
instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan
KPU Provinsi. d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh
para pasangan calon. e.
Keterbatasan anggota Panwas
mengontrol hasil
penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Kelima Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu
pasangan calon. b. Kewenangan KPUD yang besar dalam
menentukan pasangan calon.
c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk
menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada
oleh KPU di atasnya. e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada
salah satu pasangan calon f.
Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang
kalah.
Dan ke enam Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent
dalam Pilkada sangat diuntungkan saat MK memutuskan calon incumbent cukup
dengan cuti dan mencabut ketentuan awal yang lebih tegas incumbent yang mejadi
calon wajib mundur dari jabatan.
Perangkat aturan dan sistim yang ada akan dapat dimanfaatkan salah
seoarang calon kepala daerah. Dan secara umum incumbent mempunyai akses paling
cepat untuk dapat memanfaatkan kenakalan guna mencapai kemenangan.
Sementara itu sekaitan dengan DP4 yang tidak dapat diandalkan
dimungkinkan terjadi karena entri data yang tidak valid juga dimungkinkan
adanya kepentingan sebagai celah berbuat nakal dalam pemenangan. Disisi lain
peran warga masyarakat untuk mengetahui dan respon akan daftar pemilih masih kurang.
Dan hal itu sebagai celah yang dapat digunakan untuk berbuat kenakalan di TPS.
Semakin bahaya ketika pihak yang harusnya bertugas untuk pemutahiran data
seperti PPK dan PPS justru kurang merespon DPS. Terlebih ketika ada kepentingan
dan kemungkinan pesanan dari salah satu
pasangan calon
Pencalonan yang bermasalah menyangkut dualisme nama yang
diajukan parpol. Hal itu menjadi celah bagi rival pasangan lainnya yang dapat
digunakan untuk “ menghabisi” pasangan lain yang dianggap membahayakan posisi
kemenangannya. Sudah menjadi hal biasa
sering calon yang diperkirakan kuat dan handal terjatuh saat partai yang
awalnya mendukung pada akhirnya menarik dukungan. Hal itu mengakibatkan calon
tidak mempunyai “kapal” penuh untuk mengusung calon.
Disisi lain belum ada ruang yang diberikan hukum bagi calon
lain untuk memprotes keputusan KPU dalam menetapkan para calon kepala daerah.
Penetapan daftar calon kepala daerah masih hak prerogatif KPU . Sedang kandidat
lain tidak dapat melakukan keberatan meski ditemukan bukti ketidak lengkapan
persyaratan calon yang diluluskan. Hal itu rentan dalam persyaratan
administrasi balon Bupati termasuk persoalan ijazah yang bermasalah serta
pemalsuan keterangan biodata balon kepala daerah.
Masa kampanye merupakan saat paling maha penting dalam
persaingan calon Bupati curi start kampanye merupakan hal yang sering dilakukan
pejabat incumbent dengan menggunakan PNS atau berbagai program yang menggunakan
dana APBD padahal tujuan utamanya adalah untuk menaikkan popularitas dimata rakyat.
Penggunaan fasilitas negara oleh
incumbent meski berstatus calon kepala daerah sering terjadi yakni penggunakan
fasilitas kendaraan, ruang public, serta melibatkan perangkat PNS secara
terstruktur .
Kampanye hitam dengan menyebar isu hingga praktek money politik
dengan gaya sawer menjadi senjata yang diumbar untuk menarik masyarakat
terlebih dari ekonomi lemah. Pembohongan
public dengan melempar isu berbagai
bantuan pemerintah pusat seperti bedah rumah, BLSM , raskin serta bantuan lain
merupakan karya dan perbuatan seorang incumbent. Hal itu dilakukan untuk
pencitraan diri dan membohongi rakyat sehingga dianggap sebagai pahlawan di
mata rakyat jelata.
Perhitungan suara mulai dari tingkat TPS hingga KPU rentan
terhadap kecurangan terlebih jika saksi
pasangan calon tidak bersikap tegas. Manipulasi perolehan suara juga dapat
dilakukan PPS hingga PPK guna memenangkan satu calon. Penggantian langsung
kotak suara hingga berubahnya hasil perolehan suara di TPS ketika sampai di PPK
merupakan bagian dari kecurangan. Bahkan petugas PPS sering menjadi pemain
kecurangan dengan melakukan pencoblosan surat dengan kuku sehingga suara batal
atau menambah suara pada pasangan calon yang memesannya.
Keberpihakan anggota KPUD dan panwas pada salah seorang calon dalam fakltanya
sering terjadi . Para penyelenggara pilkada ini justru menjadi bagian dari
kenakalan untuk memuluskan saklah satu pasangan calon. Panwas bersikap tidak
melihat pelanggaran yang dilakukan pasangan calon yang memesannya sedang bagi
calon lain tegas menerapkan aturan.
KPU dan Panwas bagai tak berdaya ketika dana pilkada justru
berada di kabupaten/kota. Maka dengan kondisi itu sangat memungkinkan bagi
pejabat incumbent untuk melakukan negosiasi atas besaran dana yang dapat
ditampung untuk penyelenggaraan pilkada. Untuk memuluskan pemenangan incumbent
patut diduga anggota KPU siap bernegosiasi sehingga dana di mark up sehingga
sisanya dapat dinikmati oknum anggota KPUD. Demikian juga bagi panwas. Intinya
incumbent akan begitu mudah mempengaruhi penyelenggaran dengan menawarkan APBD.
Sedang untuk pertanggung jawabannya cukup dengan melampirkan administrasi tanda
tangan saja.
Posisi
incumbent menjadi sangat beruntung ketika MK memutuskan incumbent cukup cuti
saat kampanye jika maju kembali. Hal ini berbeda dengan UU sebelumnya yang
mewajibkan calon incumbent mundur dari jabatan. Perangkat yang ada kerap dilakukan
sebagai celah untuk berbuat nakal dan berlaku tidak sportif dalam pertarungan
pilkada (R.07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar